Jumat, 22 Agustus 2008

Civil Society

Istilah “civil society” di Indonesia diterjemahkan menjadi beberapa istilah dengan sedikit perbedaan antar kata tersebut, yaitu “masyarakat sipil”, masyarakat warga”, “masyarakat kewargaan” atau “masyarakat madani” [1]. Konsep civil society (seringkali saya pendekkan menjadi “CS”) saat ini sedang banyak mendapat banyak perhatian, dan tampak masih pada tahap berkembang. Berbagai indikatro-indikator baru masih ditambahkan, sehingga kadangkala ada menimbulkan ketidaksamaan di antara para ahli.
Konsep CS merupakan kasus yang menarik, karena telah mengalami perubahan yang sangat ekstrim terhadap makna konsep ini. Konsep yang belaku sekarang berbeda dengan konsep murninya (genuine). Pada awalnya, melalui istilah “societas civilis”  dari Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan Romawi;  CS identik dengan negara. Namun, kini justeru sebaliknya, karena CS adalah kekuatan yang mencoba mengimbangi terlalu perkasanya negara.
Jadi, awalnya CS berbentuk sekularisme, yaitu penentangan ilmuwan terhadap kekuasaan gereja yang absolut di abad pertengahan. Namun akhir abad 18, CS merupakan komponen penting yang keberadaannya seajar dengan negara, seiring dengan pemikiran Hegelian yang membagi dunia sosial atas 3 komponen, yaitu: keluarga, civil society, dan negara. Dalam konsep Hegel saat itu, CS memiliki ketergantungan kepada negara.
Namun kini, CS bermakna sebagai “kemandirian aktifitas warga masyarakat berhadapan dengan negara dengan mewujudkan nilai-nilai keadilan, persamaan, pluralisme, dan kebebasan”. Keberadaan civil society adalah untuk melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara, atau terhadap hegemoni negara dan pasar. Pemerintah tidak bertindak ideal yang semestinya berada pada posisi irisan antara diagram venn yang memuat tiga lingkaran yaitu CS, negara (state), dan pasar. Harapan negara sebagai kekuatan moral tidak terwujud.
Di antara dua lembaga tersebut, CS lebih dihadapkan kepada negara, bukan pasar; karena politik-lah yang menjadi bidang utama CS, bukan ekonomi. CS dicirikan dengan keterlibatan masyarakat dalam proses pengembailan keputusan politik di tingkat supra struktur. Dengan hadirnya CS,  aktivitas politik diharapkan akan bersifat luas dan transparan. Partisipasi dalam politik adalah kata kunci CS.
Dari perubahan-perubahan makna yang dialaminya, maka ada yang mengelompokkan pandangan terhadap CS atas pandangan tradisional dan modern. Kaum tradisionalis mendefinikan CS sebagai masyarakat sipil yang berasal dari budaya Barat, sebagai counter balancing terhadap negara dan sebagai alat kontrol negara. Karena negara bukanlah institusi yang “baik hati”. Sebaliknya, bagi kaum modernis, CS adalah “masyarakat madani” dengan berpola pada masyarakat Madinah  zaman nabi. Itulah prototipe ideal masyarakat yang demokratsis, egalitern berkeadilan, dan beradab. Pada konsep ini, masyarakat bukan “lawan” negara, namun sebagai komplemen atau suplemen terhadap negara. Secara prinsip, masyarakat in mendahului konsep Declaration of Human Rights tahun 1948 oleh PBB.
Menurut Alfred Stepan, CS adalah arena tempat berbagai gerakan sosial (himpunan ketetanggan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelmpok intelektual) serta orang sipil dari semua kelas (ahli hukum, wartawan, serikat buruh, dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam satu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka.          Karaketristik CS adalah (1) masyarakat melakukan gerakan politik secara kolektif dengan partisipasi yang luas, (2) terdapat fase perkembangan yang bersifat on going process di tingkat grass root politic, dan (3) gerakan CS fokus pada praksis politik yang mengacu pada gerakan yang transparan, untuk selanjutnya lalu merambah ke negara.
Tujuan akhir dari CS adalah masyarakat bermoral, sadar hukum, beradab, memiliki tatanan sosial yang baik, teratur dan progresif. Begitu tinggi harapan yang diberikan kepada CS. Melalui CS diharapkan terbangun masyarakat yang beradab, terbuka, yang terdiri dari kemajemukan, kreatif-dinamis, berseni budaya, partisipatif, dan bertanggung jawab yang mengabdikan diri kepada bonnum commune. Demokrasi yang dijalankan pada masyarakat lebih murni, tulus, dan bertanggung jawab. CS diharapkan mampu menuju communion of communities, yaitu masyarakat yang rukun, adil, harmonis, dan sejahtera.
Dalam beberapa hal, konsep CS punya semangat yang sama dengan “pemberdayaan”. CS hanya akan berkembang bila menerapkan prinsip subsidiaritas, yaitu: apa yang bisa diurus dan diselesaikan kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada, maka kelompok yang lebih besar (negara) tidak usah ikut campur.
CS merupakan konsep besar dan penting, karena itu banyak ahli yang bicara tentang CS. Bagi Habermas, CS adalah the free public spheres, tempat dimana semua orang boleh ngomong apa saja. Terbangunnya CS, menurut Paulo Freire,  membutuhkan critical mass, yaitu sekelompok orang yang mengembangkan satu peradaban masyarakat madani (keswadayaan), dengan semangat demokratisasi dan penghargaan kepada HAM, dan semangat kekuasaan yang distributif. Jadi, CS membutuhkan masyarakat sekuler dan rasional.
Menurut Antonio Gramsci, CS merupakan weapon of the weak. CS perlu untuk penyeimbang dari kekuatan negara. Meskipun bergerak di wilayah politik, namun CS mengandalkan pada kekuatan moral. Globalisasi ekonomi dikawatirkan akan menyebabkan kematian demokrasi, karena rakyat ditelantarkan oleh negara, sibuk melayani kapitalis. Gramsci paling sering menyuarakan, bahwa negara telah menjadi alat kepentingan kaum borjuis kapitalis untuk menghegemoni dan menindas masyarakat. Ditambah dengan kecenderungan komersilisasi berlebihan media massa, maka CS menghadapi dua tantangan: represif negara dan pasar yang dikendalikan struktur kapitalisme global.  Korporasi transnasional selain menggusur produk lokal, mematikan kearifan lokal, merusak budaya lokal, dan eksploitasi ekonomi, juga mengurangi kemandirian warga. Globalisasi yang mengusung rezim pasar telah mengambil gagasan CS ini untuk menjinakkan resistensi rakyat, menjadi relasi yang berpola neoliberal.
Istilah civil society biasanya berkaitan dengan organisasi dan aktifitas warga negara dalam seluruh level [2]. Masyarakat Civil Society berbentuk sebagai suatu konfigurasi yang terdiri dari organisasi non pemerintah, media massa, institusi ilmiah dan lain-lain. Seluruhnya berada dalam satu jaringan. Masyarakat tersebut beroperasi dalam situasi “… communication as a human right, the global information commons as a counterpart for the commercial use of information, freedom of expression, privacy, a participatory communications model, the central role of local communities and support for community-based initiatives” [3].
Bagi Wignyosoebroto, CS yang diindonesiakannya menjadi “masyarakat warga”  merupakan “suatu masyarakat ideal yang di dalamnya hidup manusia-manusia partisipan yang masing-masing diakui sebagai warga-warga yang kedudukan mereka serba setara dan sama  dalam soal pembagian hak dan kewajiban” [4]. Masyarakat yang dibangun di atas kekuatan partisipatif-yang karena itu juga sungguh dilandasi voluntarisme para warganya.
Bagaimana sejarah awal terbentuknya CS? Sebutan civil society pada awalnya dulu diberikan kepada sekelompok penduduk kota yang otonom dan tak tersentuh kekuasaan penguasa-penguasa feodal. Mereka hidup dalam enklave-enklave bertembok yang disebut city atau burough (Inggris), burg atau Buerg (Belanda dan Jerman), cite atau bourge (Perancis). Mereka yang tergolong les citoyen atau the citizens ini berstatus sebagai civilian alias “preman” ( = orang yang meredeka) [5]. Ini terjadi di Eropa abad 17-18. Sebagai warga yang otonom, mereka eksis dengan mengandalkan topangan partisipatif warga-warganya yang berkepercayaan diri dan karena itu juga berkemandirian, berkeswasembadaan, dan berkeberdayaan, yang oleh sebab itu pula selalu mampu bersikap dan berpeilaku otonom, tanpa dapat didominasi dan dihegemoni begitu saja oleh sembarang bentuk kekuasaan negara. Karena kemandirian dan keberdayaaannya itulah mereka mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan dan kekuasaan negara.  Ini lalu berubah seiring perubahan “negara kota” menjadi “negara bangsa”. Rakyat yang berdaulat.
Ide tentang CS telah memperoleh perhatian yang besar dalam bidang politik dan pembangunan, terutama kaitannya dengan fenomena gelombang demokratisasi, yang dimulai dari Amerika Latin dan Eropa Timur, yang lalu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Dalam konteks normatif, CS diperkirakan ikut berperan kepada gejala pembatasan keperkasaan negara (limiting authoritarian government), memperkuat pemberdayaan, mengurangi dampak destruktif sistem pasar, mendorong akuntabilitas politik, dan meningkatkan kualitas dan inklusifitas pemerintahan. Bersamaan dengan terjadinya pembatasan peran negara, terjadi peningkatan kesadaran untuk peran organisasi sipil dalam pengelolaan sumberdaya  bersama dan pelaynan sosial.
Civil society telah dipelajari dari berbagai bidnag ilmu. Sebagai konsep politk, CS berakar dari tradisi liberal-demokratis Anglo-America,  dimana institusi sipil dan aktifitas politik merupakan komponen esensial sebagai prasayarat untuk menerapkan “… principles of citizenship, rights, democratic representation and the rule of law”.  Sebagai konsep sosiologi, CS dipandang sebagai pihak intermediasi antara negara di satu sisi dengan masyarakat di sisi lain. Sebagai intermediasi, maka elemen pembentuk CS adalah berbagai organisasi dan asosiasi yang terpisah dari negara, otonom, terbentuk secara sukarela dengan anggotanya yang bebas dan terlindung untuk mewujudkan “….their interests, values or identities “  [6]. Bagi kalangan ahli sosial umumnya, konsep CS memiliki potensi untuk didefinisikan secara lebih solid dan konstruktif, sehingga dapat berperan dalam merekonstruksi masyarakat apa yang disebut dengan tatanan masyarakat modern.
Ahli ekonomi politik klasik, sepeti John Stuart Mill dan Adam Smith memandang CS sebagai “….. a realm of virtuous freedom, both economic and personal, and contrasted it with the evils of the state”.  Dari kelmpok Neo-Marxist, Antonio Gramsci mengatakan bahwa civil society sebagai “…. place where the state operates to enforce invisible, intangible and subtle forms of power, through educational, cultural and religious systems and other institutions” [7].
Civil Society telah memiliki banyak arti bagi tiap orang. Bagi sebagian kalangan, CS merupakan wujud dari “the third leg” sebagai alat sosial dari dua kekuatan pokok yaitu negara dan pasar. CS mencakup berbagai sektor nirlaba, serta juga relasi keluarga, ketetanggaan (neighborhood), dan dalam komunitas.
Di Malaysia, populer istilah “masyarakat madani”. Ciri masyarakat madani adalah modern, berdaulat, komunikatif, adaptif terhadap lingkungan, swadaya tinggi, dan berideologi multikulturalisme termasuk dalam hal jender. CS di Indonesia mulai  ramai dibicarakan tahun 1990-an, yang dikontraskan dengan militer. Permasalahan yang dihadapi Indonesia, adalah paradoks antara kemajemukan dan kesatuan. Masalah CS kita adalah masyarakat dengan berbagai latar belakang, serta tatanan dan komposisi sosial yang majemuk, ketidakadilan sosial, perebutan kekuasaan, dan lain-lain. 
Untuk Indonesia, dengan realitas pluralis, maka yang dibutuhkan adalah  sikap inklusif. Maka, bentuk konkretnya bisa berupa kelompok-kelompok lintas komunitas, lintas agama, lintas kultural,dan lintas partai. Resistensi terhadap pluralisme merupakan hambatan untuk mewujudkan CS. Jadi, CS berprinsip pluralis-inklusif. CS akan terwujud bila tiap orang menunaikan tugas dan kewajibannya, serta mendapatkan imbalan yang adil. Untuk mewujudkannnya dibutuhkan “civil ethics” yang merupakan pertanggungjawaban moral.
Di Masyarakat Islam, CS yang dinamai dengan “masyarakat Madani” ada sejak abad ke –13 dengan terbentuknya masyarakat Islam dan adanya lembaga keulamaan. Di Indonesia, bentuk masyarakat madani  adalah ketika berdirinya Syarekat Islam dan Muhamadiyah tahun 1912. Di kalangan Islam, masyarakat madani punya empat definisi yaitu: identik dengan masyarakat Madinah semasa nabi, sama dengan peran nabi sebagai kepala negara, identik dengan kelas menengah muslim kota, dan masyarakat yang beradab.

*****




[1] Madani berasal dari Madaniyyah yang bermakna “peradaban”, sementara civil dari civility juga “peradaban”. Kata civilis atau civis dalam bahasa Yunani sama dengan kewargaan. “Madani” dalam bahasa Arab adalah kata sifat dari Madinah sebagai kota secara umum, atau peradaban.
[2] Situational Analysis of CBOs in Georgia: Concepts http://www.psigeorgia.org/undpsa/concepts.htm. 13 Mei 2005.
[4] Wignyosoebroto, Soetandyo. 2000. Masyarakat Warga: Perkembangan dalam Sejarah dan Permasalahan Teoritiknya. Jurnal Sosiologi Indonesia No. 4 tahun 2000. Hal. 48.
[5] Wignyosoebroto, Soetandyo. 2000. Hal. 48-9.
[6] Untuk lebih dalam dapat mempelajari Gordon White. “Civil Society, Democratization and Development: Clearing the Analytical Ground”. Democratization, Autumn, 1994. Hal. 375-390.
[7] Jon Van Til. “Building Social Capital and Growing Civil Society”. Winter 2001 Monday Night Lecture Series. (http://www.pendlehill.org/Lectures%20and%20Writings/von_til.htm., 13 Mei 2005).