Jumat, 22 Agustus 2008

Liberalisme

            

Liberalisme merupakan faham, atau adakalanya disebut sebagai ideologi, yang bagaimanapun telah menjalar ke seluruh bagian dunia bersama-sama dengan kapitalisme, melalui kendaraan globalisasi. Dapat dikatakan bahwa, liberalisme dan kapitalisme merupakan dua produk utama kultur barat pada umumnya yang diadopsi di mana-mana. Dan, dalam menganalisa suatu masyarakat saat ini, kita menjadi sulit memilah-milah wujud dan pengaruhnya. Keduanya seolah sudah menjadi “satu paket”yang harus ditelan sekaligus, yaitu “kapitalisme-liberal”. Meskipun demikian, masing-masing dapat dipelajari secara terpisah.
Liberalisme yang muncul pada abad ke 19 memiliki beberapa postulat dasar berupa kebebasan berpikir, berbicara, dan dunia press. Tujuannya saat itu adalah untuk menghadirkan suatu kalangan oposisi yang konservatif. Konsep liberalisme awal dipercaya berasal dari Adam Smith dalam buku “An Inquiry to the Wealth of Nations” yang terbit tahun 1776. Namun dalam perjalanannya, liberalisme lalu berkembang dalam konotasi politik saat Adam Smith menulis ”the liberal plan of equality, liberty, and justice”. Liberalisme benar-benar masuk ke dunia politik, ketika tahun 1812 di Spanyol berdiri Partai Lebeal, yang kemudian lalu diadopsi pula di Perancis[1].
Liberalisme menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Lalu, depresi dunia tahun 1930 menenggelamkan faham tersebut, sehingga pemerintah diterima masuk, dengan lahirnya program New Deal Presiden Roosevelt tahun 1935. Namun pembela kapitalisme liberal mengelak, dengan mengatakan bahwa krisis-krisis tersebut adalah bagian dari dinamika kapitalisme untuk menemukan bentuk baru, yaitu globalisasi, yang lalu menjelma menjadi neo-liberalisme.
Liberalisme pada dasarnya adalah filsafat yang bertujuan untuk mencapai kebebasan individual (“philosophy or movement that has as its aim the development of individual freedom”). Konsep kebebasan itu sendiri juga mengalami perubahan. Sebelumnya, kebebasan diperjuangkan karena dengan itulah akan lahir sifat-sifat asli dari kebaikan manusia (human goodness). Lalu, kebebasan beralih untuk menuju rasionalitas manusia (human rationality). Diasumsikan bahwa tiap manusia memiliki intelektual rasional, memiliki kemampuan untuk memahami permasalahan dan memecahkan pemasalahan mereka, dan mampu mencapai peningkatan yang sistematis dalam kondisi mereka [2].
Liberalisme klasik[3] tidak hanya memperhatikan rasionalitas manusia, namun juga  pentingnya hak pemilikan, natural rights, kebutuhan terhadap pembatasan peran pemerintah, dan yang lebih penting adalah terbebasnya manusia dari seluruh bentuk pengakangan-pengekengan. Ide pokok liberalisme klasik adalah “pencerahan” (Enlightenment), dengan ciri percaya kepada keteraturan alam dan percaya bahwa hukum alam akan mengatur masyatakat. Karena itulah, intervensi tidak dibutuhkan.
Pada prinsipnya, liberalisme berupaya mewujudkan free trade dan free market, yang dipercaya  akan menghasilkan kemakmuran dan perdamaian, melalui perdagangan antar negara, investasi asing, dan bantuan asing, dengan menjalankan prinsip laissez faire. Namun perjalanan sejarah membutikan, dalam masyarakat indutri telah terjadi ketimpangan kesejahteraan dan kekuasaan. Artinya, liberalisme diragukan kemampuannya untuk memberi kesejahteraan bagi semua orang. Itulah alasannya kenapa liberalisme pada abad ke 20 menghadirkan negara dalam mencapai kesejahteraan, sehingga melahirkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) [4]. Faktanya, di abad ke 20, negara berperan besar dalam menata kapitalisme dan membangun negara kejahteraan.
Ini sejalan dengan pandangan kelompok “liberal reformis” yang demi alasan moral (kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan sosial) membolehkan pemerintah campur tangan, dan mendukung welfare state. Warga perlu dilindungi dari free fight capitalism, karena pasar hanya berpihak kepada yang kuat.
Setidaknya ada dua kubu pengkritik liberalisme. Kalangan Marxis misalnya, tidak percaya kapitalisme internasional akan menciptakan distribusi kesejahteraan yang adil. Kritik lain datang dari Teori Strukturalis, yang melihat bahwa struktur pasar internasional telah melanggengkan keterbelakangan dan ketergantungan. Menurut Gunnar Myrdal, pasar global tidak akan netral. Pasar bukan mesin pertumbuhan, namun hanya akan memperlebar kesenjangan. Yang dikhawatirkan mereka adalah timbulnya free fight liberalisme, , yang merupakan eksploitasi terhadap manusia dan penghisapan terhadap yang lemah.
Dari kalangan liberalisme, lalu lahir apa yang disebut dengan “neo-liberlasime”. Kelompok ini menolak pandangan liberal reformis. Neoliberal memiliki ontologi metodologi individualisme, tetap pro pasar dan pro bisnis, dengan gagasan fundamentalisme pasar bebas. Dalam ide ini, moralitas dan tanggung jawab publik dianggap tidak relevan dalam bisnis. Faktanya, memang kapitalisme dengan ideologi neoliberaplisme telah merubah negara-negara dari geo-politics ke arah geo-economics, dengan tentaranya adalah pengusaha-pengusaha. Strategi neoliberalisme adalah penyingkiran segala rintangan investasi, mewujudkan pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, penghapusan subsidi, dan penyingkiran pemerintah. Pemerintah mestilah menghargai otonomi individu, serta menjunjung tinggi kebebasan sipil, tunduk kepada hukum, dan melindungi warganya dari otoritas yang sewenang-wenang[5].
Bagi sebagian orang, neoliberalisme adalah jelmaan kapitalisme dalam bentuk yang paling radikal. Doktrinnya adalah transaksi merupakan satu-satunya cara relasi antar manusia. Karena itu, akibat transaksi harus ditanggung individu, bukan masalah sosial. IMF misalnya menggunakan tiga resep penting yang disebarkan kemana-mana yaitu: privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Pada akhirnya, pemimpin negara hanya menjadi penjaga bagi kepentingan pengusaha. Dan dalam konteks kultural, neoliberal juga telah mengarahkan bahasa, sosial politik, pola belanja, dan peran media dalam hegemoni nilai tukar. Ia telah menempatkan semua institusi di bawah sistem dan kultur pasar.
Meskipun berganti nama, namun orang melihat bahwa  neoliberalisme pada dasarnya tidak ada bedanya dengan liberalisme. Pendirian neoliberal ini pada prinsipnya tidak bergeser dari paham liberalisme awal yang dikemukakan Adam Smith. Lawan dari liberalisme adalah doktrin conservatism yang cenderung anti terhadap perubahan.
Globalisasi sesungguhnya dilandaskan pada “neoliberalisme.” Penganut neoliberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan dicapai optimal melalui “kompetisi bebas” dalam “pasar bebas” yang diyakini akan lebih efisien. Pemerintah tidak usah ikut campur, dan  serahkan saja semua pada mekanisme dan hukum pasar. Liberalisme mengusung kapitalisme. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan hak milik intelektual, good governance, penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society, program anti-korupsi, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan suatu tatanan perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada dasarnya perpijak pada kebangkitan kembali paham liberalisme, atau tepatnya “neoliberalisme”.
Ciri yang paling pokok dari neoliberalisme adalah kebijakan pasar bebas. Aturan dasarnya adalah: “Liberalisasikan semua perdagangan dan keuangan,” “Biarkan pasar menentukan harga,” “Akhiri inflasi, stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi,” “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan.” Paham ini lalu mengglobal sehingga lalu berwujud menjadi “konsesus” yang dikenal dengan “Globalisasi”. Arsiteknya adalah “The Neo-Liberal Washington Consensus” yang merupakan kesepakatan dari perusahaan-perusahaan besar transnasional. Neoliberal menginginkan bebasnya perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, menghentikan subsidi kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip persaingan bebas, menghapuskan ideologi ”kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang dianut masyarakat “tradisional” karena menghalangi pertumbuhan.
*****



[1] F. A. Hayek. “Liberalism”. (http://www.angelfire.com/rebellion/oldwhig4ever, 11 April 2005).
[2] “Encyclopedia”. Columbia University Press. (http://www.answers.com/topic/liberalism., 13 mei 2005).
[3] Para pemikir liberalisme klasik di antaranya adalah Adam Smith, David Ricardo, Jeremy Bentham, and John Stuart Mill.
[4] Konsep ini dimulai oleh Inggris, Perancis, dan Amerika. Di AS bentuknya adalah berupa  program upah minimum, pajak progresif, dan jaminan sosial yang dilembagakan, yang dikenal dengan “The New Deal.