Kamis, 21 Agustus 2008

Penyuluhan Pertanian


Penyuluhan pertanian (agricultural extension)[1] diartikan sebagai suatu sistem pendidikan luar sekolah untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki kesejahteraan hidupnya sendiri serta masyarakatnya. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengembangkan petani dan keluarganya secara bertahap agar memiliki kemampuan intelektual yang semakin meningkat, perbendaharaan informasi yang memadai dan mampu memecahkan serta memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya.      Seluruh aktifitas penyuluhan berpedoman pada azas pokoknya yaitu “menolong petani agar ia mampu menolong dirinya sendiri” [2].
Dalam pengertian umum, penyuluhan pertanian adalah “… the application of scientific research and new knowledge to agricultural practices through farmer education” [3]. Tujuan utama penyuluhan adalah “…to assist farming families in adapting their production and marketing strategies to rapidly changing social, political and economic conditions so that they can, in the long term, shape their lives according to their personal preferences and those of the community” [4].
Selain penyuluhan pertanian, juga dikenal “Ilmu Penyuluhan Pembangunan”, yaitu “suatu displin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang mengakibatkan kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi baik” [5]. Sebagai sebuah ilmu, konsep dan teori “penyuluhan pertanian” saat ini telah meminjam pula konsep-konsep dari ilmu pendidikan, psikologi, psikologi sosial, antropologi, sosiologi, manajemen, ekonomi, kesehatan, serta tentu saja ilmu pertanian.
Ada tiga hal yang menjadi objek untuk dirubah dalam kegiatan penyuluhan, yaitu pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek afektif) dan keterampilan (aspek psikomotorik). Perubahan perilaku adalah tujuan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan, yaitu bertambahnya perbendaharaan informasi, tumbuhnya keterampilan, serta timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki[6].
Pertanian adalah pencampuran pengetahuan dan keputusan bagaimana faktor-faktor tanah, air, iklim, dan kapital didayagunakan. Penyuluhan pertanian memformulasikan dan mendiseminasikan pengetahuan, dan mengajar petani untuk menjadi manajer di usaha nya sendiri (competent decision makers).  Karena itulah, penyuluhan berperan  penting dalam pembangunan pertanian. Ia menjadi bagian dari sistem, yakni sebagai aktor yang mempengaruhi petani dalam membuat keputusan.
Ada banyak pihak yang berperan dalam terbentuknya Agricultural Knowledge System (AKS), yaitu peneliti, pemerintahan, organisasi petani, NGO, lembaga pelatihan petani, dan media. Tugas penyuluhan adalah meningkatkan interaksi antara aktor dalam AKS, sehingga petani memiliki akses yang optimum terhadap informasi apapun  yang diduga akan dapat membantu meningkatkan kondisi sosial dan ekonominya. Jadi, penyuluhan merupakan sentra dari sistem AKS tersebut, karena ia menjadi fasilitator di antara pelaku AKS[7]. Dengan menjalankan fungsi mediasi ini secara terfokus, maka kesalinghubungan akan lebih baik.
Salah satu teori tentang penyuluhan yang terkenal adalah “Teori Adopsi Inovasi”. Teori ini bertolak berdasarkan waktu yang diperlukan untuk mengadopsi inovasi. Rogers[8] mengelompokkan para adopters (penerima inovasi) ke dalam lima kelompok besar secara berturut-turut dari yang tercepat, adalah: kelompok inovator (inovators), kelompok pelopor (early adopters), kelompok pengikut dini (early majoryti), kelompok pengikut akhir (late majoryti), dan terakhir adalah kelompok kolot (laggards).
Pada awalnya, istilah “extension” datang dari program di perguruan tinggi di Inggris untuk pengembangan ilmu baru di masyarakat, yang kemudian diadopsi di bidang pertanian, kesehatan, dan lain-lain. Karena diadopsi oleh banyak pihak, maka pelayanan penyuluhan akhirnya menjadi aktifitas utama dalam pengembangan ekonomi pedesaan. Penyuluhan pertanian akhirnya memiliki beberapa peran mulai dari upaya mempromosikan ide baru, penyampaian informasi, dan membangun kapasitas di antara berbagai kelompok masyarakat yang tidak terbatas hanya untuk petani.
Fungsi utama penyuluh pertanian adalah sebagai mata rantai (change agent linkage) antar pemerintah sebagai change agency dengan masayarakat petani sebagai client system-nya. Agar dapat menjalankan tugasnya, seorang penyuluh harus menguasai metoda penyuluhan dengan baik serta mengerti sosiologi dan psikologi, untuk menyadarkan kebutuhan petani [9]. Penyuluh selain harus tahu ilmu dan teknologi pertanian, juga harus menguasai teknik penyuluhan dengan baik. Semuanya ini adalah bekal agar penyuluh dapat memposisikan diri sebagau “kawan yang yang memberi dorongan bekerja” [10].
Ada dua tipe aktifitas penyuluhan, yaitu yang berorientasi sektoral (Sector-Oriented Extension)  dan yang lebih ke konsultasi (Management Counseling). Penyuluhan berorientasi sektoral misalnya berupa promosi komoditas, promosi penggunaan input tertentu, promosi penggunaan kredit pertanian, dan promosi pembangunan berkelanjutan berbasiskan sumberdaya alam (Sustainable Management of Natural Resources). Sementara, penyuluhan yang lebih bersifat konsultasi dapat terjadi pada: (1) aktifitas di usahatani (farm level); (2) pada community level dengan meningkatkan kondisi kehidupan komunitas melalui pengembangan program pertanian dan kelembagaan yang relevan; dan (3) mengembangkan program kemandirian (self-help initiatives) dengan mepromosikan struktur sosial, organisasi sosial, memotivasi, dan meningkatkan kesadaran.
Tugas-tugas seorang penyuluh pertanian selengkapnya adalah[11]: (1) menyebarkan informasi pertanian yang bermanfaat, (2) mengajarkan keterampilan dan kecakapan bertani dan lain-lain yang lebih baik, (3) memberikan rekomendasi berusahatani dan lain-lain yang lebih menguntungkan, (4) mengikhtiarkan fasilitas-fasilitas produksi dan usaha yang lebih menguntungkan dan menggairahkan, serta (5) menimbulkan swadaya dan swadana dalam usaha perbaikan dalam usahatani.
Penyuluh pertanian di Indonesia memegang peranan yang sentral ketika pelaksanaan Program Bimas dahulu. Menurut Badan Pengendali Bimas, tugas-tugas yang diemban Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dalam Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) adalah[12]: menyelenggarakan berbagai demonstrasi perbaikan usahatani bersama petani, membuat dan melaksanakan rencana kerja, membuat laporan untuk bahan evaluasi tugas dan pemecahan masalah, membina kelompok tani dan Kontak Tani, membantu terselenggaranya kegiatan petani dalam usahatani, mengumpulkan data untuk bahan penyuluhan pertanian, membantu pengadaan sarana dan informasi yang diperlukan, mengadakan penilaian kegiatan hasil penyuluhan pertnaian di daerahnya, menyebarkan informasi pertanian, mengajarkan pengetahuan, menyampaikan rekomendasi perbaikan usahatani,  mengembangkan swakarya/swadana petani dan mengupayakan dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, serta membuat catatan keadaan dan kejadian penting di daerah kerjanya.
Secara keorganisasian, cikal bakal lembaga penyuluhan pertanian di Indonesia, adalah pendirian Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) tahun 1948. Lembaga ini tidak hanya bergerak dalam pertanian, namun melayani seluruh kebutuhan masyarakat sekitarnya, bahkan termasuk untuk pengembangan kesenian dan budaya  setempat. Tenaga penyuluh secara khusus diangkat mulai pada awal tahun 1970-an, dalam program Bimas untuk menyebarluaskan teknologi intensifikasi pertanian yang dikemas dalam “Panca Usahatani” ke tengah masyarakat.
Selama ini di Indonesia, telah terjadi perubahan sosok kemampuan penyuluh. Sebelum era kemerdekaan, dikenal mantri-mantri pertanian yang memiliki kemampuan spesialis dalam komoditas tertentu. Pertama penyuluh diangkat tahun 1970, ia  masih spesialis (monofalent), lalu berubah menjadi generalis (polivalent) pada tahun 1974, namun semenjak tahun 1991 menjadi monovalent lagi. Lalu, semenjak tahun 1996 menjadi monovalent tapi juga sekaligus polivalent.
Semenjak tahun 1970-an, World Bank telah mempromosikan dan membiayai program yang dikenal dengan “Metode Latihan dan Kunjungan” (Training and Visit System) yang dipendekkan menjadi Metode LAKU. Metode ini memberi tekanan kepada pengorganisasian penyuluhan. Disiplin dalam bekerja (rigid work) dan  jadwal kerja merupakan pedoman kerja sekaligus alat untuk memonitornya. Hubungan dengan lembaga penelitian bersifat formal, dan melakukan kontak secara teratur. Dengan membuat pemetaan kerja dan jaringan kerja dengan baik, maka banyak petani dapat diraih. Petugas penyuluh menerima pelatihan secara reguler dan berkosentrasi kepada permasalahan yang nyata di lapangan.
Ini didasarakan organisasi tunggal yang berjenjang, dimana semua pelakunya adalah pegawai pemerintah. Namun ini dipandang kurang efisien, mahal, tak mampu dibiayai dalam jangka lama, dan sangat tergantung kepada kondisi politik yang ada. Ini juga kurang melibatkan petani, karena petani hanyalah penerima pasif informasi yang diturunkan. Dalam program Bimas, Insus dan Supra Insus di Indonesia, juga digunakan pendekatan LAKU, dimana seorang PPL bertugas pada satu Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP) yang berisi 16 kelompok tani (Wilkel). PPL dalam satu kecamatan berada dalam satu Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian (WKBPP)[13].
Penyuluhan konvensional banyak menuai kritik. Hadirnya sosok penyuluh “kebetulan” bersamaan dengan ramainya Revolusi Hijau,  sehingga kritik terhadap revolusi hijau dianggap juga merupakan tanggung jawab dari penyuluh. Revolusi Hijau dikritik karena menghasilkan polusi kimia berlebihan, penyeragaman komoditas, memperbesar ketergantungan petani, dan sering paket-paket yang disampaikan tidak cocok dengan kebutuhan petani. Metode LAKU dikritik karena meskipun efektif untuk mengatasi kelemahan pengetahuan petani dan petugas, namun kurang berperan terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan peranan wanita. Karena itu dibutuhkan sistem yang lebih fleksibel.
Ke depan, penyuluhan pertanian diharapkan tidak hanya membuat petani mampu berproduksi, tetapi harus berproduksi secara mandiri, dan sekaligus mampu mencapai kesejahteraan keluarganya.  Jadi, penyuluh tidak hanya sebagai delivery system bagi informasi dan teknologi pertanian untuk peningkatan produksi,  tapi harus menjadi sistem yang berfungsi menciptakan pertanian sebagai suatu usaha yang menguntungkan bagi petani. Penyuluh mesti lebih berorientasi agribisnis.
Berbagai pendekatan telah dikembagkan untuk memperbaiki penyuluhan, misalnya berupa Gerakan Campesino-a-campesino di Amerika Tengah, sekolah lapang (farmer field school) di Asia Tenggara, pendekatan “Problem Census” di Asia Selatan, dan program fasilitasi informasi di Afrika[14]. Semua ide ini mempromosikan petani dan masyarakat desa lain sebagai principal agents of change di komunitasnya. Petani  tak hanya menjadi kunci untuk akses bagi jasa yang diberikan penyuluh profesional maupun petani (petani maju atau Kontak Tani), namun mereka membuat keputusan-keputusan manajemen dan melakukan berbagai kegiatan penyuluhan sendiri. Penyuluhan pada prinsipnya tidak hanya dapat dilakukan oleh petugas pemerintah. Kalangan agamawan, perusahaan komersial, dan organisasi petani juga dapat menjadi penyuluh.

******



[1] Di beberapa negara istilah “agricultural extension” diganti dengan “extension education”, sementara di tempat lain menjadi “development communication”; tentunya dengan penekanan yang berbeda.
[2] Sumintareja, Samedi. 1987.  Memantapkan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Makalah Lokakarya Penyuluhan Petanian, di Subang , Jawa Barat, 4 – 6 Juli 1987.
[3] Sebagian kalangan tidak menyetujui penggunaan kata “pendidikan” dalam kalimat “pendidikan luar sekolah” tersebut, karena menurut mereka dalam prakteknya hanya berupa “penerangan” yang bentuknya searah.
[4]Agricultural Extension”. SDC Swiss Agency for Development and Cooperation Sector Policy. 1997. (http://www.infoagrar.ch, 11 Mei 2005).
[5] Pendapat Margono Slamet (dalam Hubeis, AVS; P. Tjitropranoto; dan W. Ruwiyanto. 1992. Penyuluhan  Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. hal. 24).
[6] Yustina, I. dan A. Sudrajat (eds). 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Didedikasikan kepada Prof. Dr.  H. R. Margono Slamet. IPB Press, Bogor.  Hal 20-21.
[7] “Agricultural Extension”. SDC Swiss Agency for Development and Cooperation Sector Policy. 1997. (http://www.infoagrar.ch, 11 Mei 2005).
[8] Rogers, Evereet M. 1983. Diffusion of Innovations: Third Edition. The Free Prees, New York.
[9] Prodjosuharjo, Mudjijo.1987. Makalah Pembahasan: Memantapkan Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Makalah Lokakarya Penyuluhan Petanian, di Subang , Jawa Barat, 4 – 6 Juli 1987.
[10] Mosher, AT. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Yasaguna, Jakarta
[11] Menurut Salmon Padmanagera (dalam Gunardi. 1980. Kumpulan Bahan Bacaan Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor).
[12] Sutjipta, Nyoman. 1982. Hubungan Pelaksanaan Sistem LAKU dan Keberhasilan PPL Melaksanakan Tugasnya di Bali. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
[13] Untuk kalangan penyuluh berdiri organisasi PERHIPTANI (Perhimpunan Penyuluhan Pertanian Indonesia) yang merupakan organisasi profesi.
[14] Farmer-led extension: Concepts and practices. Edited by Vanessa Scarborough, Scott Killough, Debra A Johnson and John Farrington. 214 pp. paperback. Published 1997 by Intermediate Technology Publications, London. ISBN 1 85339 417 3.   (http://www.mamud.com/farmer-led_extension.htm, 11 Mei 2005).