Jumat, 22 Agustus 2008

Kapitalisme


Makna yang paling mendasar dari “kapitalisme” adalah suatu aktifitas ekonomi dimana barang yang diproduksi bukan untuk dipakai sendiri, namun untuk dijual atau dipasarkan. Kapitalisme adalah sistem sosial yang didasarkan atas prinsip kepemilikan individu (individual rights), dalam konsep politik dan tentu saja ekonomi. Istilah ini lahir untuk menandai peralihan dari usaha berpola subsisten menjadi usaha berpola bisnis. Dari peralihan yang kelihatannya sederhana tersebut kemudian membawa perubahan yang signifikan tidak hanya dalam aktifitas usaha, namun bahkan dalam pola hidup, tatanan masyarakat, dan bahkan manajemen pemerintahan suautu negara. Bahkan, demokrasi juga telah dirambah oleh nilai-nilai kapitalisme, sehingga demokrasi dijalankan menurut prinsip-prinsip kapitalisme. Seorang ahli mengatakan: “demokrasi bahkan bisa dijual pada penawar tertinggi”.
Kapitalisme meluaskan pengaruhnya kepada dunia filsafat, politik, dan sosial kebudayaan. Bentuk awal kapitalisme adalah merkantilisme, yaitu tentang pendistribusian barang untuk tujuan profit. Pembicaraan tentang kapitalisme lalu sangat meluas, dan menjadi objek pengamatan berbagai disiplin ilmu, sehingga banyak teori dilahirkan tentang kapitalisme.
Ciri kapitalisme dalam praktek adalah adanya akumulasi alat-alat produksi pada sedikit orang (disebut sebagai “kapitalis”), adanya tenaga kerja upahan dan pembagian kerja, serta adanya kalkulasi ekonomi yang tegas dalam setiap aktifitas usaha. Dalam pengertian umum, “kapitalisme” adalah “An economic system in which the means of production and distribution are privately or corporately owned and development is proportionate to the accumulation and reinvestment of profits gained in a free market” [1]. Dalam konteks ekonomi dan politik, kapitalisme dicirikan oleh pasar bebas (free market) untuk barang dan jasa, yang juga melakukan kontrol terhadap sistem produksi dan konsumsi.  
Dalam makna ekonomi, sistem ekonomi kapitalis didasarkan atas kepemilikan individual atas alat-alat produksi, dimana keuntungan personal diperoleh melalui investasi kapital dan memperkerjakan tenaga kerja. Kapitalisme lahir di atas konsep free enterprise, yang membatasi pemerintah di bidang ekonomi, dan pasar bebas diyakini akan memberi kesejahteraan maksimum pada konsumen. Prinsip ini didasarkan atas pemikiran Adam Smith's, khususnya  pada pemikirannya dalam “The Wealth of Nations” tahun 1776, sebagai kritik terhadap teori merkantilisme sebelumnya.
Teori tentang kapitalisme dikembangkan di sepanjang abad ke 18, 19 dan 20. Karena itu, konsep kapitalisme relevan ketika kita membicarakan banyak hal mulai dari revolusi industri, imprealisme Eropa, The Great Depression, maupun Perang Dingin. Ia diyakini bertanggung jawab terhadap lahirnya seluruh fenomena tersebut.
Secara etimologi, kata “capital” merujuk ke dalam dunia perdagangan dan pemilikan hewan piaraan. “Capitalis” dalam bahasa Latin berakar dari “kaput” yang bermakna “kepala”, untuk mengukur tingkat kesejahteraan seseorang. Semakin banyak orang memiliki sapi, semakin baik. Kata "capitalism" pertama digunakan di Inggris oleh Thackeray tahun 1854, dengan makna sebagai kepemilikan kapital. Tahun 1867, Proudhon menggunakan istilah "capitalist" untuk merefer kepada orang yang memiliki kapital. Lalu,  Marx dan Engels menggunakannya untuk "Capitalist production system" dan dalam Das Kapital ia menggunakan kata "Kapitalist". Pada awal abad ke 20, istilah kapitalisme semakin berkembang, terutama karena buku Max Weber The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” yang terbit tahun 1904.
Konsep kapitalisme telah berubah dari waktu ke waktu tergantung kepada perspektif politik dan pendekatan analisis yang digunakan. Dalam membicarakan kapitalisme, Adam Smith memfokuskan kepada konsep “the invisible hand". Sementara bagi pendukung pasar bebas mereka menekankan kepada peran pasar bebas yang diyakini akan menigkatkan kerjasama antara individu, menghasilkan inovasi, pertumbuhan ekonomi dan juga kebebasan (liberty). Bagi Karl Marx, kapitalisme didefinisikan sebagai penciptaan pasar tenaga kerja dimana sebagian besar orang menjual tenaganya agar dapat hidup, dan terkonsentrasinya alat produski pada sedikit orang. Bagi sebagian ahli lain, kapitalisme hanyalah nama lain untuk ekonomi pasar (market economy).
Meskipun banyak yang tidak sejalan, namun disepakati bahwa struktur ekonomi kapitalis ditandai oleh gejala-gejala berupa berkembangnya sektor swasta (private sector), diakuinya hak kepemilikan (property rights),  pertumbuhan ekonomi, mobilitas ekonomi, ketidakseimbangan distribusi kesejahteraan,  meningkatnya kompetisi, berkembangnya jaringan usahawan, dan eksistensi pasar bebas misalnya berupa pasar tenaga kerja. Seluruh gejala ini merupakan karakteristik dari kapitalisme, apapun definisi yang digunakan.
Dalam konteks philosophical political secara luas, kapitalisme merupakan suatu sistem sosial yang didasarkan kepada prinsip pengakuan hak, termasuk hak pemilikan, dimana semua kepemilikan adalah milik pribadi (privately owned)[2]. Secara politik, ia bermakna sebagai suatu kebebasan. Namun dalam konteks ekonomi secara sempit ia mewujud sebagai free market, dimana negara terpisah dari sistem ekonomi sebagaimana negara terpisah dari agama. Kapitalisme adalah sistem laissez faire.
Konsep kapitalisme yang sangat populer berasal dari Weber[3]. Konsepnya tentang Etika Protestan dikembangkan dari fakta bahwa di Eropa modern, pemimpin-pemimpin niaga, para pemilik modal, buruh-buruh terampil, dan karyawan tinggi yang terlatih di bidang teknis dan niaga, kebanyakan memeluk agama Protestan. Juga beberapa pusat awal perkembangan kapitalis pada abad ke 16 ada di wilayah protestan. Ini karena Protestanisme menentang hidup santai dan senang-senang, sebagaimana ditekankan Calvinisme.
Calvinisme adalah ajaran teologis dari John Calvin (1509-1564) yang berasal dari pandangan dunia Kristen, berkaitan dengan dasar ide pembaharuan agama Kristen (Protestan). Intinya adalah bahwa Tuhan merupakan pusat dari seluruh kenyataan dan peristiwa. Aliran calvinisme memandang bahwa Tuhan telah menentukan siapa-siapa yang terpilih. Untuk memastikan sebagai “orang yang terpilih”, maka seseorang harus bekerja keras dan tirakat (mengkosumsi sesedikit mungkin), bukan untuk mencapai keselamatan, namun untuk mengurangi keragu-raguan tadi. Jika ia sukses, berarti ia lah orang yang terpilih tersebut. Jadi, konsep dasar kapitalisme adalah “bekerja banyak, mengkonsumsi sedikit”. Karakter dari The Protestant Ethics adalah kerja keras, kejujuran, kesungguhan, dan kesadaran dalam penggunaan waktu dan uang, rasional, teratur, ulet, produktif, dan respek terhadap hukum.
Kapitalisme tidak hanya berhenti menjadi praktek sosial yang dapat dengan mudah diaplikasikan dengan mudah ke berbagai wilayah[4], tapi telah menjadi way of thinking. Sebagai way of thinking, cirinya adalah: (1) individualistik, dimana individual adalah pusat kerja keras kapitalis, karena itu kapitalisme disebut sebagai “economic freedom”, (2) pertumbuhan ekonomi, (3) produksi dan distribusi barang, (4) rationally calculated dan harus future-directed, dan (5) menciptakan budaya konsumsi, dimana semua manusia adalah konsumen (=objek). Manusia lebih dilihat sebagai “objek yang membelanjakan uang”, bukan “objek yang memproduksi sesuatu”.
Kapitalisme adalah juga sebuah doktrin rasional yang didasarkan kepada pemahaman manusia dan masyarakat dalam konteks ekonomi, politik, dan moralitas yang ditemukan selaras dalam keharmonisan satu sama lainnya[5]. Rasionalitasnya terlihat dari sikapnya untuk mengejar keuntungan, dan selalu memperbaharui keuntungan, dengan alat-alat yang kontinyu, rasional, dan perusahaan yang kapitalistik[6]. Jadi, dalam dunia kapitalis, semua harus untung, jika tidak akan tersingkir. Kapitalisme modern dicirikan oleh organisasi indutri yang rasional, memisahkan urusan bisnis dengan rumah tangga, dan pembukuan yang juga rasional. Kapitalisme dapat eksis dalam bentuk yang tradisional, karena ruh kewirausahaan pun dapat hidup dalam kondisi tersebut.
Kapitalisme disayang namun juga dibenci. Bagi mereka yang pro kapitalisme (Pro-Capitalist), senjangnya distribusi kesejahteraan yang sering dikritik orang, dianggap kurang penting karena bagaimanapun kaum miskin telah hidup lebih baik di bawah kapitalisme. Menurut mereka, munculnya kemiskinan di satu masyarakat justeru karena rendahnya semangat kapitalisme mereka, atau karena kapitalisme tidak diterapkan secara sempurna.
Sebaliknya pihak yang Anti-Capitalist melihat bahwa para kapitalis telah mengumpulkan kesejahteraan dengan mengekploitasi pekerja. Ia merekrut tenaga kerja bukan karena ingin mensejahterakan mereka, namun karena untuk menjalankan perusahaannya memang harus menggunakan tenaga kerja manusia. Fakta lain yang dijadikan bahan untuk mengkritik kapitalisme adalah bahwa kesejahteraan tidak diperoleh oleh semua orang.  Distribusi kesejahteraan yang timpang adalah bukti kecacatan atau hasil immoral kapitalisme.  Orang kaya tidak melulu menginvestasikan kekayaan mereka ke penggunaan yang produktif, namun adakalanya hanya untuk sekedar menghalangi akses orang lain saja. Ini terjadi misalnya pada orang-orang yang membeli tanah bukan untuk diusahakan, namun untuk dijual lagi jika harga sudah naik.
Kritik utama kelompok Marxist kepada kapitalisme, terutama adalah tentang ketimpangan. "The rich get richer, and the poor get poorer". Selain itu, hidup buruh dikontrol oleh pemilik perusahaan. Di bawah kapitalisme, para kapitalis berkesempatan untuk mengeksploitasi buruh, sehingga kepemilikan individual (private property) justeru telah membatasi kebebasan manusia. Banyak suara yang mengkritik[7] betapa kapitalisme telah membawa banyak kemudaratan di muka bumi. Menurut Fyodor Dostoyevsky, seorang sastrawan Rusia, tahun 1862: “ekonomi barat tak hanya menindas kebebasan atas nama akal sehat, tapi juga mengakhiri peradaban manusia”.
Faktanya negara-negara telah menjadi antek kapitalis. Sebagian orang mencurigai, mungkin pasar bebas sebenarnya dirancang secara terpusat oleh megakorporasi global yang powernya bahkan lebih besar dari kumulasi negara-negara yang ada. Dalam konteks ini, dikenal isitilah “anarcho-capitalism”, yaitu bentuk lain dari pengaturan ekonomi yang meninginkan dibatasinya campur tangan pemerintah. Kapitalisme berarti penerapan sistem laissez faire, atau terwujudnya kebebasan politik.
Pada akhir 1980-an di Indonesia tumbuh gejala apa yang disebut dengan pseudo capitalist’s (kapitalis semu), yaitu suatu bentuk perkembangan kapitalis (pengusaha-pengusaha) yang bukan karena kemampuan dengan jiwa enterpreunership yang tinggi, namun lebih karena kedekatan dengan elite politik. Ini merupakan gejala yang umum di Asia Tenggara. Oleh Kunio[8], bentuk tersebut disebutnya dengan “kapitalisme gadungan” (“ersatz”). Ini terjadi mulai 1970-an, dimana pengusaha-pengusaha mengembangkan usahanya melalui korupsi, atau perselingkuhan birokrasi dengan swasta besar. Para pengusaha tersebut bercakrawala pendek, namun ingin keuntungan cepat. Akibat ketiadaan modal dan penguasaan teknologi yang rendah, maka mereka hanya menjadi agen asing. Mereka adalah kapitalis komprador atau pemburu rente (rent-seeker) yang hidup mengandalkan lisensi pemerintah dan proteksi.
Pengembangan perkebunan besar di zaman penjajahan Belanda merupakan contoh, bahwa pengembangannya tidaklah murni karena kecakapan para pengusaha swasta ketika itu, namun lebih karena berbagai fasilitas dan kemudahan yang disediakan. Inilah juga sebab kenapa pola perkebunan besar tersebut sulit ditransfer kepada rakyat (sebagaimana analisis Boeke). Para pengusahanya, atau kapitalisnya, tidak berhasil mentransfer jiwa kapitalis sejati ke tengah masyarakat, karena merekapun tidak berhasil mempertontonkan contoh yang baik.
*****



[2] http://www.capitalism.org., 8 April 2004.
[3] Yaitu “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”, yang merupakan 2 artikel panjang tahun 1904 dan 1905 (dalam Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. UI Press. xxii+320 hal. Judul asli: Capitalism and Modern Social Tehroy: an Analysis of Writing of Marx, Durkheim, and Max Weber.Hal. 153-4)
[4] Kemajuan teknologi informasi pada akhir abad ke 20 telah menjadikan media massa sebagai unsur penggerak kapitalisme global. Dunia hiburan telah menjadi leviathan baru. Ia tampil dengan cantik, tak menjajah, dan tak menghisap.  Dengan menghibur, mengidolakan, dan lain-lain citra positif. Fromat media mengutamakan tampilan (showbiz) bukan materinya. Ideologinya adalah menjadikan hal-hal yang sepele menjadi penting (fetisme).
[5] Edward W. Younkins. “Toward a Conceptual Framework for Capitalism”. (http://usabig.com/autonomist/articles/conceptcapitalism.html. 11 Mei 2005).
[7] Perlawanan terhadap kapitalisme, misalnya datang dari organisasi Konfederasi Internasional Pekerja Bebas (International Confederation of Free Trade Unions = ICFTU) yang didirikan tahun 1949. Organisasi ini memiliki 225 organisasi di 148 negara, dengan anggota 157 juta pekerja. Salah satu aktifitas yang pernah dilakukan adalah memboikot kepada pemerintahan diktator Myanmar.
[8] Kunio, Yoshihara. 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Judul asli: The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia. LP3ES. 366 halaman.