Jumat, 22 Agustus 2008

Koperasi

 

“Koperasi” berasal dari Bahasa Latin “cooperere”. Dalam bahasa Inggris “cooperation” maknanya adalah “bekerja sama”, dimana co = bersama, operation = bekerja, dan to operate = berusaha. Pengertian koperasi secara ekonomi adalah kerjasama para anggota untuk memenuhi kebutuhan bersama. Istilah “koperasi” di Indonesia secara legal pertama dikenal dalam Undang-Undang No. 79 tahun 1958, yang merubah kata “kooperasi” menjadi “koperasi”.
Meskipun koperasi sudah dikenal di seluruh belahan dunia, namun bentuk dan cara operasinya berbeda-beda. Di Indonesia, gagasan koperasi tampaknya sudah ada semenjak tahun 1896, ketika seorang pamong praja, Patih R. Aria Wiriaatmaja di Purwokerto, mendirikan bank untuk membantu pada pegawai untuk melepaskan diri dari pinjaman uang dari lintah darat.
Dalam UU No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian disebutkan: “ Koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Batasan ini  sedikit berbeda dalam UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pada  Pasal 1 disebutkan: ”Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.
Menurut The International Cooperative Alliance (ICA) [1], koperasi adalah: “…an autonomous association of persons united voluntarily to meet their common economic, social,and cultural needs and aspirations through a jointly owned and democratically controlled enterprise. Selain itu, koperasi juga dimaknai sebagai “embody the values of selfhelp, self-responsibility, democracy, equality, equity and solidarity. In the tradition of their founders, co-operative members believe in the ethical values of honesty, openness, social responsibility and caring for other”.
Koperasi modern yang eksis saat ini, dasar-dasarnya berakar dari koperasi di Eropa, Jepang, dan Amerika. Semenjak abad ke 19, koperasi pedesaaan sudah dikenal yang umumnya menyediakan kredit, menjual sarana produksi, menjamin pemasaran, dan pelayanan pendidikan bagi anggotanya.
Kita mengenal adanya tujuh prinsip utama koperasi [2], yaitu: keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, manajemen demokratis, partisipasi ekonomi anggota, otonom dan independen, bertujuan untuk pendidikan, kerjasama dengan koperasi-koperasi lain, dan memberi perhatian kepada komunitas setempat[3]. Prinsip-prinsip ini selaras dengan ide-ide yang mendorong lahirnya koperasi yakni: adanya solidaritas, demokrasi, kemerdekaan, altruisme, keadilan, kemajuan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan. Sistem masyarakat yang berjalan merupakan lingkungan yang penting, karena koperasi hanyalah sebagai satu lembaga bentukan atau merupakan subsistem dari masyaarkat tersebut.
Koperasi berbeda dengan organisasi usaha pada umumnya. Meskipun menurut prinsip-prinsip koperasi (cooperative principle) atau sendi-sendi dasar koperasi, masalnya dalam UU No. 12 tahun 1967, koperasi dapat berupa organisasi masyarakat atau perusahaan (enterprise). Perbedaannya adalah[4]: dari segi organisasi adalah anggotanya merupakan orang-orang dengan kepentingan sama, anggota bebas keluar masuk, dan kekuasaan di rapat anggota bukan pada pemilik usaha. Tidak sebagaimana di perusahaan yang pemimpinnya sentralistis,  pada koperasi dikenal “tri tunggal kepemipinan” yang terdiri rapat anggota, pengurus, dan manajer. Pengurus bukan penguasa mutlak. Pengelolaan usaha pada dasar pada koperasi dilakukan secara terbuka, tidak tertutup sebagaimana dalam perusahaan swasta.
Perbedaan ini timbul, karena tujuan usaha  koperasi adalah untuk memenuhi kebutuhan anggota, bukan mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya. Karena itulah di koperasi tidak dikenal “keuntungan”, namun “sisa hasil usaha”. Kemajuan usaha anggota yang diutamakannya. Kemajuan anggota berarti kemajuan bagi koperasi. Kalau kemudian kooperasi memperoleh kemajuan pula, itu sifatnya sekunder. Selain itu, antar koperasi akan mengadakan koordinasi dan integrasi, secara horizontal maupun vertikal; bukan persaingan.
Keberadaan koperasi di Indonesia dipengaruhi oleh struktur ekonomi makro. Pada tahun 1950-an misalnya, koperasi berada dalam suasana ekonomi liberal. Namun, semenjak 1960-an, bersamaan dengan program pemenuhan pangan nasional, maka koperasi banyak dijadikan alat politik dan untuk pendistribusian bantuan pemerintah. Agar mampu menjalankan perannya, maka koperasi didukung dengan berbagai fasilitas, yang berakibat rendahnya kemandirian koperasi. KUD semula dibangun untuk peningkatan produksi dan kesejahteraan masyarakat. Inpres No. 2 tahun 1978 lalu memperluas perannya untuk juga sebagai penjaga kestabilan harga pangan. KUD kemudian terlibat dalam penyediaan kredit, penyediaan saprodi, pengolahan dan pemasaran, dan kegiatan ekonomi lain[5]. Dalam bentuk yang tradisional, lumbung desa dapat dianggap sebagai sebuah koperasi dalam bentuk manajemen yang berbeda. Namun, bukan berarti bahwa koperasi merupakan transformasi dari lumbung desa. 
Mohammad Hatta merupakan Bapak Koperasi di Indonesia. Pada Hari Koperasi tanggal 12 Juli 1951, ia menyatakan bahwa:
“ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan, sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Maka asas kekeluargaan itu ialah koperasi. Selanjutnya juga ditegaskan, bahwa dalam ekonomi yang berlandaskan koperasi maka produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah kepemilikan anggota masyarakat untuk kemakmuran masyarakat, bukan orang-seorang. Disini terlihat, bahwa jiwa koperasi tersebut memiliki kesejajaran setidaknya dari sisi semangat dengan konsep “ekonomi kerakyatan”.
Lebih jauh Hatta menyebutkan, bahwa koperasi tidak saja menjadi wadah ekonomi, tetapi juga sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat. Pada tahap-tahap awal kemerdekaan, koperasi bahkan menjadi alat perjuangan nasionalisme, dengan memupuk solidaritas sosial tanpa membedakan suku, agama, dan status sosial.
Kita seringkali mendengar bahwa “koperasi adalah soko-guru perekonomian”. Menurut Sri Edi Swasono[6], sokoguru adalah tulang pungung perekonomian. Artinya, semangat kebersamaan dan asas kekeluargaan harus hadir dalam setiap aktifitas ekonomi, bahkan juga harus ditumbuhkan untuk lembaga swasta. Kebersamaan terlihat dari buruh-buruh yang memiliki saham diperusahaan tempatnya bekerja, sedangkan sikap kekeluargaan muncul ketika karyawan membuat koperasi karyawan. Koperasi adalah sokoguru, bukan salah satu[7]. Dalam pengertian kuantitatif, ia merangkum seluruh aspek kehidupan sosial ekonomi yang sifatnya menyeluruh dan substantif makro, tidak hanya parsial-mikro.
Mengapa  koperasi harus sebagai soko guru? Dengan koperasi menjadi soko guru, maka[8]: (1) akan mampu menyadarkan kepentingan bersama dan menolong diri sendiri, dimana organisasi ekonomi diarahkan untuk melawan penindasan asing; (2) menampung, mempertahankan, memperkuat identitas dan budaya bangsa; (3) wadah yang tepat untuk membina golongan ekonomi kecil; (4) ia dapat hidup dalam bangun-bangun usaha non-koperasi; dan (5) untuk merealisasikan ekonomi Pancasila.
Koperasi merupakan badan ekonomi yang berwatak sosial. Untuk meujudkan ini, maka unsur-unsur dasar ideologinya haruslah berupa: keswadayaan, kesetiakawanan, demokrasi, kekuatan ekonomi, kebebasan yang bertanggung jawab, keadilan, tidak mementingkan diri sendiri, dan komitmen kepada kemajuan sosial. Ini dapat diwujudkan apabila tercipta “demokrasi ekonomi”, dimana tiga unsur penting (negara, swasta, dan  koperasi) saling menghargai.
Dalam UU No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, pasal 4 disebutkan bahwa fungsi koperasi adalah: sebagai alat perjuangan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, alat pendemokrasian ekonomi nasional, salah satu urat nadi perekonomian, dan pembina masyarakat untuk memperkokoh ekonomi bangsa.
Salah satu sisi lemah koperasi di Indonesia adalah, karena rendah dalam efisiensi dan melulu bersandar kepada “kesadaran” atau kurang menggarap rasionalitas ekonominya. Sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial, perlu seimbang aktivitas ekonomi dengan sosial. Namun untuk kelangsungan hidupnya harus memandang diri sebagai organisasi ekonomi, yaitu harus mandiri secara ekonomi.[9]
Koperasi menempati kedudukan yang sangat penting dalam peta pemikiran ekonomi Bung Hatta[10]. Ia tidak hanya memandang koperasi sebagai bangun perusahaan yang ideal pada dataran mikro, tetapi sekaligus juga sebagai sumber inspirasi dalam mengembangkan sistem perekonomian Indonesia pada dataran makro. Koperasi adalah model ideal susunan perekonomian Indonesia, pada tataran makro maupun mikro. Pemikiran ini diadopsi pada Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, yang dengan tegas menetapkan ''usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan'' sebagai prinsip dasar susunan perekonomian Indonesia. Dalam pasal tersebut, koperasi secara tegas dinyatakan sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan prinsip ''usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan''.
Sepanjang sejarah terlihat, koperasi berada dalam berbagai sistem perekonomian. Di RRC misalnya, koperasi dipakai sebagai model transisi dalam proses transformasi sistem feodal ke sistem sosialis. Koperasi sesungguhnya lahir di negara kapitalis, yang dimaksudkan sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis. Koperasi modern lahir di Inggris pada awal abad 19, akibat revolusi industri yang menyengsarakan kaum buruh. Jadi ia lahir sebagai penyeimbang kejamnya dunia industri yang menerapkan ideologi kapitalisme.
Karena lemahnya perkembangan koperasi di Indonesia, maka timbul kesan “sepele” padanya. Padahal, sesungguhnya terdapat tujuan dan perjuangan yang maha besar di balik konsep “koperasi”. Koperasi bertujuan mengganti persaingan bebas yang menjadi dasar bangunan kapitalisme dengan kerjasama. Namun, ia pun dapat menjadi salah satu subsistem dalam sistem kapitalis. Koperasi sesungguhnya memiliki keinginan yang kuat untuk menghilangkan corak individualistis dan kapitalistis dari ekonomi kapitalisme. Dengan memilih koperasi, sesungguhnya juga dimaksudkan sebagai titik tolak untuk membangun sebuah masyarakat demokratik dan egaliter dalam arti yang sebenarnya. Dalam ilmu koperasi, manusia dipelajari tidak hanya sebagai homo-ekonomikus, yang rasional dan selalu mengejar untung sebesar-besarnya, serta selalu mengejar kepuasan maksimum dalam mengkonsumsi.
Terlihat bahwa koperasi tidak semata koperasi. Ia begitu perlu diperjuangkan, karena koperasi merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi dan sistem politik. Selain itu koperasi dapat menjadi agen pembangunan pedesaan yang potensial. Sikap ini nyata semenjak 1990-an, dimana World Bank [11] sebagai contoh, bersikap bahwa melalui pengembangan koperasi dapat dicapai peningkatan ketahanan pangan, serta mendorong keterlibatan pembuat kebijakan untuk pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Koperasi juga dapat menjadi agen dalam pengurangan kemiskinan (poverty alleviation).
PBB menetapkan tanggal 1 Juli 1995 sebagai “International Day of Cooperatives”,  dalam konteks peranan koperasi dalam pembangunan eknomi dan sosial.  Sementara itu, The United States Agency for International Development (USAID) berpendapat bahwa: “…cooperation can increase technology use, speed market penetration, attract investment, facilitate contract enforcement, and achieve more favorable policies”. Sementara organisasi buruh ILO menekankan peranan koperasi “…in freedom of association, democracy, and provision of services to the socially excluded and in areas neglected by the state and private sector (ILO 2004) [12]. Jadi, tidak hanya dalam pemikiran-pemikiran “kuno”, bahkan pada abad ke 21 ini sekalipun, koperasi tetap masih menjadi kebutuhan dan diyakini mampu berbuat banyak bagi pembangunan[13].
*****


[1] “Old Concepts Revisited: Are Cooperatives the Way Forward for Smallholder Farmers to Engage In International Trade?”. Disertasi pada London School of Economics & Political Science University of London”. (http://www.coopdevelopmentcenter.coop/Anaylsis/AlishaMyersdissertation.pdf. 13 Mei 2005).
[2] International Cooperative Organization (ICA). 2004. (http://fotw.fivestarflags.com/int-ica.html. 13 Mei 2005). Organisasi ICA lahir di Genewa tahun 1895, sebagai organisasi yang independen, sebagai perwakilan seluruh lembaga koperasi sedunia. Anggotanya adalah organisasi di tingkat nasional maupun internasional, untuk semua sektor termasuk pertanian, perbankan, simpan pinjam, industri, asuransi, perikanan, perumahan, pariwisata, maupun koperasi konsumen. Anggotanya lebih dari 200 organisasi pada lebih dari 100 negara, dengan total keanggotaan lebih dari 700 juta orang.
[3] Pada Pasal 5 UU No. 25 tahun 1992, disebutkan bahwa koperasi melaksanakan prinsip sebagai berikut: keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, dan kemandirian.
[4] Suwandi, Ima. 1982. “Koperasi: Organisasi Ekonomi yang Berwatak Sosial”. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. 226 halaman. Hal 15.
[5] Dari sisi kuantitas, koperasi cepat tumbuh di Indonesia. Pada tahun 1927 baru ada satu koperasi, lalu tahun 1950 telah menjadi 1.155 unit, dan pada tahun 1982 telah lebih dari 20 ribu unit, dimana lebih kurang 4.500 unit merupakan Koperasi Unit Desa (KUD).
[6] Swasono, Sri-Edi. 1983. “Membangun Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Indonesia”. (Dalam: Swasono. 1983 (ed). Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Era Orde Ekonomi Indonesia. UI-Press, Jakarta. Hal 146).
[7] Swasono. 1983. Hal 149-150.
[8] Swasono. 1983. Hal 150-151.
[9] Suwandi, Ima. 1982. Hal 3.
[10] Dalam tulisannya “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya” (1934), Bung Hatta memprotes karena pemerintah penjajah hanya memikirkan kepentingan onderneming (perkebunan-perkebunan besar) yang terkena dampak depresi dunia sejak 1929, dan sama sekali tidak memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang juga terpukul yang justru lebih parah oleh depresi dunia yang sama. (Hatta, M. 2002. “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya. Dalam Daulat Rakyat Buku 2. Terbitan Khusus Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta, Jakarta. Hal 243).
[11] Terjadi peningkatan pengeluaran untuk pengembangan kapasitas organisasi pedesaan dari 26% di tahun 1997 menjadi 62 % di tahun 2001. (World Bank. 2004. http://www.coopdevelopmentcenter.coop/Anaylsis/AlishaMyersdissertation.pdf., 13 Mei 2005).
[12] “Old Concepts Revisited: Are Cooperatives the Way Forward for Smallholder Farmers to Engage In International Trade?. Disertasi pada London School of Economics & Political Science University of London”. (http://www.coopdevelopmentcenter.coop/Anaylsis/AlishaMyersdissertation.pdf. 13 Mei 2005).
[13] Saat ini telah sangat dimudahkan untuk membentuk koperasi. Dalam UU No.25/1992 pasal 6, disebutkan syarat pembentukan untuk Koperasi Primer adalah sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang , sedangkan untuk untuk Koperasi Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi.