Kamis, 21 Agustus 2008

Pembangunan Pedesaan

               

Pembangunan di wilayah pedesaan dipandang perlu dibicarakan secara terpisah, karena selain 80 persen penduduk bumi hidup di wilayah  desa, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik  sendiri. Selain itu, karakteristik sosial ekonomi penduduk pedesaan dan sumberdaya alam yang medukungnya sangat beragam antar belahan dunia.
Julius Nyerere[1] mendifinisikan pembangunan pedesaan (rural development) sebagai “ … the participation of people in a mutual learning experience involving themselves, their local resources, external change agents, and outside resources.  Pembangunan desa bertolak dari proposisi bahwa mereka tidak dapat membangun dirinya sendiri. Mereka hanya akan berkembang bila mau berpartisipasi dalam aktifitas yang akan mempengaruhi kesejahteraan mereka sendiri. Penduduk tak akan berkembang bila hanya digembalakan seperti layaknya “binatang” ke padang rumput yang baru.
Sebagian kalangan melihat bahwa apa yang dilakukan dalam pembangunan pedesaan sama luasnya apa yang dimaksud dalam kosep “community development”. Membicarakan pembangunan pedesaan akan sampai kepada seluruh masalah yang berada di desa mulai dari masalah kemiskinan, pengembangan pertanian dengan memproduksi berbagai komoditas, pembangunan subsektor, kehutanan, gender, keagrariaan, dan permasalahan sumberdaya air (water resources).
Sebelum sampai kepada bagaimana konsep dan teori-teori yang berkembang tentang “pembangunan pedesaan”, maka perlu dipahami dulu:  apa itu “desa”? Ini penting karena pembangunan pedesaan dirumuskan dari makna dan perspektif yang dikembangkan tentang “desa”. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, “desa” adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sisi keilmuan, ditemukan kecenderungan bahwa “desa” dalam segala makna dan implikasi dari pemaknaan tersebut, selalu bertolak dari “perspektif  orang kota”. Orang kota lah yang mendefinisikan apa itu “desa”, orang kota pulalah yang memikirkannya, dan orang kota pula yang merumuskan apa-apa yang perlu untuk desa. Pedesaan terpisah secara wilayah maupun pengaruh kekotaan, dan juga dianggap sebagai wilayah yang belum mapan.
Istilah “rural” dan “rurality” merupakan pendekatan geografis yang mendefinsikan lokasi dalam hubungannya dengan jarak secara fisik yang jauh dari pusat keramaian, yaitu kota.  Jarak fisik menyebabkan timbulnya jarak untuk lalu lintas barang dan jasa, serta kesempatan untuk melakukan interaksi sosial. Rural merupakan suatu yang masyarakat yang heterogen, dan berbeda-beda dalam berbagai dimensinya, mulai dari aspek demografi, kemampuan ekonomi, pola pasar tenaga kerja, jasa-jasa yang disediakan, kesehatan lingkungan, dan berbagai pengukuran subjektif lain, seperti kesejahteraan (community wellbeing) dan keterkaitannya (connectedness) secara internal maupun eksternal. 
Dalam mempelajari desa, kalangan sosiologi khususnya akan memfokuskan kepada bagaimana karakter sosial ekonomi di desa, serta perilaku, sikap, dan persepsi orang dalam wilayah tersebut yang akan menentukan aksesibilitasnya untuk pelayanan. James Scott[2] memandang bahwa masyarakat desa, terutama masyarakat yang dicirikan “pra kapitalis”, bersifat rasionalitas sosial dengan lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Prinsip moral lebih dominan dijadikan dasar berperilaku daripada rasionalitas ekonomi. Hal ini menyebabkan pendekatan ekonomi sulit bekerja, dan penetrasi kelembagaan dan teknologi dari luar dikahawatirkan akan menimbulkan resistensi.
Desa umumnya diasosiasikan sebagai wilayah dengan karakter pertanian, meskipun beberapa desa berbasiskan kegiatan penebangan kayu di hutan, pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, dan bahkan turisme. Pada beberapa negara maju misalnya, desa dipandang sebagai “hinterland” atau “daerah pedalaman” yang perannya sebagai pendukung kehidupan perkotaan. Artinya, kehidupan di perkotaan adalah utama, sebagaimana keberadaan Negara Kota di Eropa tempo dulu sebelum lahirnya negara dalam bentuk yang modern seperti ini (Negara Bangsa). Namun di Indonesia, tampaknya desa diposisikan lebih tinggi dibandingkan pandangan tersebut. Semenjak dahulu, desa dengan kegiatan agrarisnya merupakan sumberdaya utama kehidupan kerajaan-kerajaan, dan desa merupakan unit sosial yang mandiri.
Pada tahun 1965 kita mengenal Undang-undang Nomor 19 Tentang Desapraja, yang memayungi Desa dengan berbagai bentuk institusi dengan ciri khasnya yang mengakar pada masyarakat. Namun, tahun 1967 Orde Baru “membekukan” UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah  dan mengganti UU No. 19 Tahun 1965 dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Institusi pemerintahan terkecil (Desapraja) atau Desa yang ada di daerah harus diganti dan diseragamkan menjadi desa. Institusi-institusi seperti Nagari di Sumatera Barat, Pekon di Lampung, marga di Sumatera Selatan, Banua di Kalimantan Barat, Huta atau Kuta di Sumatera Utara atau Kampong di sejumlah daerah Kalimantan selanjutnya dihapuskan. Desa lantas didefinisikan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Desa digambarkan sebagai suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan, dimana mereka saling mengenal dengan baik. Corak kehidupan relatif homogen serta banyak tergantung pada alam.
Pembangunan desa adakalanya menjadi mata kulaih tersendiri yang dipelajari di perguruan tinggi[3]. Ada empat strategi pembangunan pedesaan yang banyak diterapkan yaitu strategi modernisasi pertanian, strategi anti kemiskinan, strategi pola baru pertumbuhan dan strategi land-reform[4]. Namun, kemudian digulirkan pula konsep pembangunan desa yang baru dengan pendekatan terbalik dibandingkan dengan yang lazim dilakukan selama ini. Hal-hal yang ditempatkan diurutan terakhir, justru didahulukan, atau   “memulai dari belakang” [5].
Pada tahun 1970-an, program anti kemiskinan dengan menerapkan strategi kebutuhan pokok, menggulirkan konsep “Integrated Rural Development” (IRD), dengan aktifitas pada pertanian ditambah sektor sosial (pendidikan, kesehatan, dan air bersih). Namun tahun 1980, Bank Dunia berdasarkan laporan Blackwood 1988,  mengkritik IRD karena tidak matang, kaku dalam perencanaan, pemecahan masalah yang tak tepat guna, lemah dalam pemecahan kemiskinan, dan tak kompetibel dengan manajemen negara berkembang. Atas kritik tersebut, mulai 1990-an, IMF masuk dengan structural adjustment-nya, dimana negara harus mundur dari jasa dan sektor pertanian, dan mengagung-agungkan liberalisasi pasar. Namun, inipun dikritik, karena terlalu percaya pasar, sehingga perlu koreksi terhadap fenomena “price bias”, dan perlu perbaikan struktur pertanian dan inovasi pertanian. Kebijakan yang income bias perlu dirubah ke stabilisasi yang basic subsistence, dan sekaligus mengkoreksi kebijakan yang male bias.
Pembangunan pedesaan, menurut sebagian kelangan merupakan bagian dari ilmu “Pembangunan Wilayah”. Pembangunan wilayah adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan inter-dependensi dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), manusia (social system) dan lingkungan hidup serta sumber daya alamnya (ecosystem). Hal ini diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pembangunan ekonomi, sosial, politik, budaya maupun pertahanan keamanan yang seharusnya berada dalam konteks keseimbangan, keselarasan dan kesesuaian.  Konsepsi pembangunan regional, selain menjamin keserasian pembangunan antar-daerah, bertujuan pula untuk menjembatani hubungan rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.
Dari berbagai studi kasus  yang didalaminya, Uphoff dan Esman mendapatkan bahwa ada empat jenis pembangunan pedesaan, yaitu (1) yang berdasarkan kepada potensi pertanian, (2) yang multi sektoral, (3) yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan, dan (4) yang mengandalkan kepada pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
Pembangunan pedesaan berdiri di atas paradigma untuk mengurangi kesenjangan kesenjangan dan kemiskinan. Tujuan adalah untuk kesejahteraan berupa peningkatan pendapatan atau pengeluaran riel secara rumah tangga maupun per kaipta. Ada lima tahap untuk pembangunan ekonomi pedesaan, secara berurutan adalah[6]: (1) pelajari kondisi atau karakteristik dasarnya yaitu tentang sumberdaya alam, pasar, pendapatan, dan politik yang eksis; (2) identifikasi teknologi apa yang sudah dimiliki mereka; (3) komdoitas atau sektor apa yang berpotensi dikembangkan; (4) identifikasi sifat dan mekanisme keterkaitan ekonomi antar sektor ekonomi atau jenis kegiatan; serta terakhir (5) pelajari kelambagaan masyarakat yang ada dan berpotensi dikembangkan.
Pembangunan pedesaan adakalanya bertolak dari tujuan untuk menghalangi urbanisasi. Urbanisasi adalah suatu gejala dengan beberapa proses yang saling berbeda, namun saling berkaitan, yaitu[7].: (1) meningkatnya rasio kepadatan penduduk kota secara relatif terhadap kepadatan penduduk desa sebagai akibat gerak penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran. (2) Perluasan pengembangan kota sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk. (3) Merembes dan menyebarnya pengaruh pola perilaku kehidupan kota ke wilayah di sekitarnya, bahkan ke seluruh masyarakat. (4) semakin kaburnya batas-batas ciri-ciri budaya antara ”rural” dan “urban” sebagai akibat dari perembesan pola perilaku tersebut
Di pemerintahan Indonesia dikenal Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa (PMD). Lembaga ini diawali tahun 1955 ketika dalam rapat kerja gubernur disepakati bahwa tugas  pembangunan masyarakat desa memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dan perlu ditangani satu instansi. Berdasarkan PP No. 2 tahun 1957, biro PMD dibentuk di bawah Perdana Menteri. Lalu, lembaga ini berganti nama dan kedudukan, dan  sejak 1968 menjadi Dirjend di bawah Depdagri. Sejak 1975 sampai 1992, PMD berorientasi kepada peningkatan kualitas masyarakat, kemampuan produksi, lingkungan wilayah, dan kelembagaan.
Kita juga mengenal tentang “industri pedesaan(rural industries) [8]. Indusrti pedesaan mencakup seluruh aktifitas industri yang berlangsung di pedesaan. Sebagian orang menganggap bahwa pembangunan pedesan disamakan dengan industrialisasi di pedesaan. Industri pedesaan - terutama berupa kerajinan (handicrafts) - dapat menciptakan lapangan kerja, peningkatan perdapatan, dan mencegah migrasi ke kota. Usaha ini dibagi atas dua katgeori [9], yaitu (1) produksi kerajinan pedesaan dan industri tradisional dengan metode teknik yang sederhana, dan (2) industri manufaktur pedesaan (rural manufacturing industries) berupa proses merubah sumberdaya menjadi barang industri yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat desa, namun dapat pula dipasarkan ke pasar sekitar. Industri pedesaan, jelas bukanlah industri sebagaimana di perkotaan[10]. Cirinya adalah bergantung kepada usahatani, manufaktur, penambangan, dan bergantung kepada pemerintahan lokal setempat.
*****
[2] Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani: pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES, Jakarta.
[3] Dalam konsep pembangunan masyarakat desa, dipelajari berbagai tantangan dan strategi pembangunan masyarakat desa, pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa, prinsip-prinsip pembangunan masyarakat desa, dinamika dan gerak perubahan masyarakat, perubahan berencana, kekuatan sosial dalam masyarakat dan lembaga-lembaga dalam pembangunan masyarakat desa.
[4] Hagul, Peter (ed). 1985. “Pembangunan Desa dan LSM, Referensi bagi Staf LSM”. Yayasan Dian Desa, ISBN 979-421-313-6 (191 hlm), Perpustakaan LP3ES, Jakarta.
[5] Lihat buku Chambers, Robert. 1987. “Pembangunan Desa Mulai dari Belakang” LP3ES, ISBN 979-8015-28-2, (314 hlm). Perpustakaan LP3ES, Jakarta.
[6] Tambunan, Tulus. 1995. Pola Pembangunan Ekonomi di Pedesaan. Prisma No. 8 Agustus 1995. Hal 3 – 18.
[7].Wiradi, Gunawan. 2002. Dampak “dekosentrasi” terhadap Hubungan-Hubungan  Agraria: Suatu Telaah Hipotesis. Seminar Nasional Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkemanusiaan. Ikatan Sosiologi Indonesia, 28-29 Agustus 2002, Bogor.
[8] Di beberapa negara, bahkan industri pedesaan diurus oleh satu departemen sendiri. Di India misalnya, dibentuk Ministry of Small Scale Industries and Agro & Rural Industries.
[9] Mardoukhi, Bayazid. 1993. “A Study of the Economic & Development Conditions of Rural Industries in Iran”. Agricultural Economics & Development: A Research Quarterly With Affiliations to the Ministry of Agriculture. Autumn 1993, Vol. 1, No. 3. (http://www.irvl.net/IRAN39.HTM, 13 Juni 2005).