Kamis, 21 Agustus 2008

Pembangunan berdimensi kerakyatan

“People-centered development” mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “pembangunan berdimensi kemanusiaan”. Namun, penulis lebih banyak menemukan literatur-literatur yang menerjemahkannya menjadi “pembangunan berdimensi kerakyatan” [1]. Istilah “kemanusiaan” jelas lebih universal, sedangkan istilah “kerakyatan” lebih politis dan menunjuk kepada relasi antara pemerintah dengan rakyatnya.

Pembangunan berdimensi kerakyatan (penulis pendekkan menjadi “PBK”) lahir sebagai antitesis dari konsep dan teori pembangunan yang berorientasi produksi, dan menganut paham modernisasi dan industrialisasi. Pendekatan dalam PBK bertolak dari teori proses belajar dan menghargai inisiatif dari bawah. Inisitaif kreatif dari rakyat merupakan sumber daya pembangunan yang utama, dan memandang kesejahteraan material dan spritiual sebagai tujuan akhir. Dalam PBK dikembangkan usaha-usaha swadaya dan sektor tradisional, karena sektor ini menjadi sumber utama kehidupan sebagian besar orang miskin. Konsep PBK memiliki dimensi yang lebih sempurna dan manusiawi. Menempatakan manusia pada pembangunan dan aktifitas ekonomi secara langsung akan efektif untuk memenuhi kebutuhan manusia[2]
Salah satu buku yang populer tentang ini adalah buku Robert Chambers: “Rural Development: Putting the Last First (1983). Pendekatan yang salah dalam memahami masyarakat desa, menyebabkan orang-orang luar telah salah pula dalam strategi pembangunannya. “Ignorant and stupid poor people are often the creation of ignorant and stupid outsiders…The evidence speaks for itself. Again and again and again, observers have remarked on the toughness, application and ingenuity of the poor”.
Konsep pembangunan berdimensi kerakyatan berkembang secara gradual mengikuti bubarnya perang dingin. Saat ini konsep tersebut telah menjadi konsep sentral pada berbagai konferensi internasional yang mengangkat isu pembangunan, seperti United Nations Conference on Environment and Development (the Earth Summit) di Rio de Janeiro tahun 1992, dan The International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo tahun 1994.
Mengapa konsep “people-centered development" telah berkembang begitu luasnya? Sesungguhnya pembangunan dalam 50 tahun ini telah memberi hasil yang nyata, yang didukung oleh kemajuan ilmu dan teknologi; sehingga angka kematian bayi menurun, rata-rata harapan hidup meningkat, dan revolusi hijau juga telah mampu meningkatkan produksi pangan. Namun, penderitaan dan kemelaratan adalah juga hal yang nyata. Cukup banyak orang-orang yang tidak akses ke lembaga pelayanan kesehatan, anak-anak yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan, penyakit mematikan, serta korban dari konflik rezim di negaranya sendiri.
Beberapa negara menghapai persoalan yang serius, berupa ketimpangan yang kaya dan miskin,  masalah pendidikan dan kesehatan, serta  polusi lingkungan karena industrilaisasi. Ini jelas karena cepatnya proses globalisasi dan akibat tak langsung dari aktifitas di negara-negara industri. Karena itulah masalah ini perlu ditangani pula dalam skala global. Bertolak dari fakta ini, komunitas internasional mulai memberi perhatian kepada individu, menjembatani hubungan antar negara  dan antar pemerintah, dan menggelar diskusi sehingga lalu melahirkan konsep "people-centered development" [3].
Konsep PBK tidak hanya tentang bagaimana sebuah negara merumuskan kebijakan pembangunannya dengan menjadikan rakyatnya sebagai pertimbangan utama, tidak hanya sebatas ukuran PDRB. Namun, konsep PBK juga terlibat dalam perbaikan hubungan antara negara maju dan berkembang, karena di sanalah titik pangkal persoalannya. Dalam agenda The New Development Strategy yang dideklarasikan oleh The Development Assistance Committee (DAC) pada bulan Mei 1996[4], ditekankan kepada pentingnya kemitraan baru ("new global partnership"), dimana negara industri dan maju akan bekerjasama sebagai rekan dan bekerja keras untuk terget-target tertentu. Termasuk target pengurangan kemiskinan, aksesibiltas terhadap pendidikan dasar, dan penurunan kematian bayi. Inilah ide pembangunan berdimensi kerakyatan yang direfleksikan dalam strategi DAC.
Secara filosofis, PBK berupaya menciptakan peradaban baru[5]. Dunia saat ini sedang menuju post-modernisasi, dan PBK memfasilitasi transisi ini. Ini merupakan “lawan” dari bentuk-bentuk pembangunan yang sudah dikenal dengan misi modernisasi dan eropanisasi dunia selama ini. Artinya, prinsip-prinsip yang diusung PBK berlawanan dengan prinsip peradaban Euro-America yang ditolaknya. Dengan menerapkan konsep PBK, artinya kita menolak konsep kesejahteraan yang menyingkirkan manusia keluar dari tanahnya sendiri, lalu menjadi tenaga kerja bayaran atau buruh belaka. Konsep antroposentis juga ditolak, yang memandang bahwa kemajuan dan pembangunan mesti dihasilan dengan mengekploitasi berlebihan kepada alam, dan manusia adalah penguasan alam ("lords and possessors of nature"). Selain itu, konsep ini menolak pemisahan ekonomi dan moral, dan percaya bahwa ekonomi harus memiliki pertanggungjawaban moral. PBK tampaknya memiliki banyak kesejajaran dengan konsep “ekonomi kerakyatan”, yang berpendapat bahwa keadilan ekonomi hanya akan tercipta dengan tumbuhhnya produsen-produsen kecil, dalam iklim saling bekerjasama, dan komunitas pekerja yang memiliki usahanya sendiri.
Korten dan Sjahrir[6] (1988) menyampaikan bahwa ada tujuh perbedaan pembangunan yang berpusat pada rakyat dengan pembangunan yang berpusat pada produksi, yaitu:

1.                  Pusat perhatiannya tidak pada sistem produksi dan kelancarannya, namun pada rakyat dan kesejahteraannya.
2.                  Lebih memilih pertanian dan pedeaan daripada industri dan perkotaan.
3.                  Pemilikan aset tidak terpusat, namun terdistribusi di antara banyak pelaku ekonomi.
4.                  Lebih menekankan kepada penggunaan sumberdaya manusia yang optimal daripada penggunaan modal yang optimal.
5.                  Lebih menghargai keanekaragaman dan daya adaptasi kelompok-kelompok lokal daripada meraih keuntungan internasional.
6.                  Menggunakan sistem ekonomi tertutup, dimana manusia dan lingkungan merupakan variabel endogen.
7.                  Dalam pengembangan ekonomi menggunakan perpektif teritorial, bukan perspektif fungsional.


Ada keinginan, agar orientasi pembangunan ekonomi perlu diubah dari strategi neoliberal menjadi kerakyatan. Strategi pembangunan kerakyatan ini akan meningkatkan partisipasi produktif masyarakat pada semua tahap pembangunan. Peningkatan partisipasi produktif ini mensyaratkan peningkatan penguasaan masyarakat terhadap modal, baik itu modal material (material capital), modal kemanusiaan (human capital) maupun modal kelembagaan (institusional capital). Dengan semakin tinggi tingkat penguasaan masyarakat terhadap modal, akan semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pembangunan.
Bukan berarti strategi PBK tidak memperhatikan prinsip efisiensi dan bersifat anti pasar. Efisiensi dalam strategi pembangunan kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan pula aspek kualitatif, kuantitatif, keuangan dan non-keuangan serta kesinambungan pembangunan. Artinya, selain bersifat demokratik, politik PBK juga sangat mementingkan wawasan lingkungan. Strategi pembangunan kerakyatan lebih kepada keadilan, partisipasi dan kesinambungan pembangunan; dibandingkan kepada pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas. Untuk menunjang strategi PBK, perlu desentralisasi pengelolaan keuangan negara kepada pemerintah daerah, redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap dan masyarakat adat, mendorong pendirian serikat buruh dan yayasan dana pensiun pada setiap perusahaan swasta ukuran besar, mendorong penciptaan pemerintah yang bersih dan transparan dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang kegiatan.
Ada tiga syarat yang dibutuhkan untuk mengaplikasikan PBK[7], yang berurutan dari level terendah ke level tertinggi, yaitu: Pertama, Global Governance harus dibatasi, sehingga perhatian ekonomi global akan lebih imbang dengan prioritas masyarakat lokal dibawah pemerintahan yang demokratis dan akuntabilitas. Kondisi pemerintahan global saat ini dikuasi The Bretton Woods (World Bank, IMF and WTO)  yang meletakkan kepentingan perusahaan dan ekonomi di atas perhatian terhadap lingkungan.
Kedua, kebijakan nasional, terutama di negara-negara kaya harus berorientasi  untuk mendukung konsep PBK, dan pembangunan lingkungan berkelanjutan (ecologically sustainable development). Ketiga, ekonomi lokal yang mandiri, yang mengunakan sumber daya lokal untuk pengembangan ekonomi mereka, sebagai instrument untuk mencapai struktur keuangan yang berdimensi kerakyatan (people-centered monetary). Pada prinsipnya, konsep PBK berupaya mengembalikan kontrol sumber daya kepada orang-orang dan komunitas setempat  untuk digunakan untuk sesuai kebutuhann mereka. Ini akan menumbuhkan tanggung jawab, sehingga akan lebih menjamin keberlanjutan.
Selanjutnya, dikenal ada tiga prinsip dasar PBK[8], yaitu: (1) kedaulatan ada di tangan manusia, dan ia adalah aktor sosial positif yang akan melakukan perubahan, (2) masyarakat setempat harus memiliki kontrol penuh kepada sumbedaya di sekitar mereka, memiliki akses kepada informasi yang relevan, dan mampu mempengaruhi sehingga tercapainya pemerintahan nasional yang bertanggungjawab, serta (3) siapapun yang membantu masyarakat harus mempertimbangkan bahwa mereka berpartisipasi untuk agenda masyarakat itu sendiri, bukan sebaliknya. Nilai keterlibatan pihak luar dihitung dari seberapa jauh mereka telah mendorong kapasitas masyarakat setempat untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Terlihat bahwa, PBK merupakan suatu pergeseran yang mendalam, dari konsep the service delivery system” kepada situasi yang menghargai kreatifitas dan kekuatan masyarakat lokal dengan memposisikan sumberdaya dan kekuatan masyarakat lokal itu sendiri untuk masa depan mereka yang baru [9]. Jelaslah, bahwa masuknya dimensi manusia dalam konsep “pembangunan” bukanlah merupakan sekedar tambahan belaka dalam debat tentang pembangunan. Itu adalah suatu perspektif yang seluruhnya baru, dan suatu jalan yang revolusioner untuk mempertanyakan kembali pendekatan konvensional kita terhadap konsep pembangunan. Dengan perubahan cara berpikir ini, peradaban manusia dan demokrasi berpeluang untuk mencapai sesuatu tonggak peradaban yang lain (another milestone)[10]. PBK adalah bentuk terbaik dari pembangunan [11]. Ketika masyarakat ditempatkan pada pusat dari program-program pembangunan, maka level tertinggi dari harkat kemanusiaan akan dicapai, pada tingkat pendapatan berapapun. Ini merupakan tema pokok yang jadi perhatian UNDP yang dibukukan dalam The Human Development Report tahun 1990.
Pada perkembangannya kemudian lahir beberapa konsep turunan dari PBK, yaitu “pembangunan pertanian yang berdimensi kerakyatan”, “pembangunan ekonomi berdimensi kerakyatan”, dan “pembangunan pedesaan berdimensi kerakyatan” Pembangunan pertanian berdimensi kerakyatan,  dapat diartikan sebagai pembangunan pertanian yang memihak petani. Maka komponen penting dalam konteks ini adalah tentang “SDM petani”. Petani yang menjadi perhatian, bukan aktifitas maupun hasil pertaniannya. Petani adalah pelaku utama dan subjek pembangunan. Ia menjadi  ”prime mover”  dari pembangunan pertanian.
Pembangunan ekonomi berdimensi kerakyatan (people-centered economic development = P-CED) merupakan pendekatan pembangunan ekonomi yang menempatkan  manusia sebagai pusat pembangunan perusahaan (“… places people at the center of enterprise development”). Keuntungan perusahaan tidak dapat diukur dari keuntungan berupa uang belaka, namun seberapa banyak manusia di dalamnya memperoleh keuntungan dari perolehan perusahaan. Ringkasnya, “…net profit is redefined in human terms rather than pure quantitative analyses which remove human and social concerns in the name of profit” [12].
Dalam pembangunan pedesaan, salah satu bentuk pendekatan P-CED, adalah menyediakan kredit mikro untuk menciptakan usaha-usaha baru. Dengan menciptakan satu usaha yang memberi keuntungan, akan menyediakan kepada keterjaminnan sosial masyarakat setempat berupa pangan, perumahan, dan pakaian. Kuncinya adalah, P-CED akan lebih fokus untuk menciptakan usaha baru daripada menggunakan bantuan untuk usaha yang berjangka pendek. Strategi ini akan memberi solusi jangka panjang  dengan menggunakan modal tradisional sebagai sumberdaya investasi. Dampak dari investasi tersebut adalah semakin tidak tergantung kepada bantuan pendanaan dari luar.
*****



[1] Misalnya adalah Korten, D.C. dan Sjahrir (eds). 1988. “Pembangunan Berdimensi Kerakyatan”. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
[2] Terdapat dalam The Copenhagen Declaration yang diadopsi pada The World Summit for Social Development tahun 1995.

[3] New Development Starategy towards the 21st Century - Aiming for People-centered Development. (http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1996/c_1.html., 8 april 2005).

[4] "Shaping the 21st Century: The Contribution of Development Co-operation" adalah judul yang diberikan pada agenda DAC tersebut.
[5] James Robertson. “People-Centered Development: Prinsiples for a New Civilization  (http://www.converge.org.nz/pirm/new_civl.htm, 8 april 2005).
[6] Korten, D.C. dan Sjahrir (eds). 1988.
[7] James Robertson. (http://www.converge.org.nz/pirm/new_civl.htm, 8 april 2005).
[8] David C Korten. 1990. “People-Centered Development”.Getting to the 21st Century – voluntary action and the global agenda; Bookmark, ISBN 971 569 005 X. (http://www.srds.co.uk/slrc/slrc009.htm., 8 april 2005).
[9] The Hunger Project Online Briefing Program People-Centered Development
Page 3
. 24 (http://www.thp.org/sac/unit3/people.htm, 8 April 2005).
[10]The human dimension of development is not just another addition to the development dialogue. It is an entirely new perspective, a revolutionary way to recast our conventional approach to development. With this transition in thinking, human civilization and democracy may reach yet another milestone (Mahbub ul Haq, United Nations Development Program).

[11] “People-centered development is best”. United Nations Development Programme's 'Human Development Report 1990. Special Section - Future of the Global Economy: Challenges of the 90s. UN Chronicle; September 01, 1990. (http://static.highbeam.com/u/unchronicle/september011990/peoplecentereddevelopment., 8 April 2005).

[12] Eade, Deborah. “People-Centered Development as a Social Development Concept”. Capacity Buiding an Approach to People-Centered Development. Publisher Oxfam.