Kamis, 21 Agustus 2008

Social Forestry


Istilah “Social Forestry” diindonesiakan menjadi “perhutanan sosial” atau “kehutanan sosial”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Wastoby pada kongres kehutanan negara-negara persemakmuran di New Delhi, India tahun 1968 [1]. Ia mendifinisikannya  sebagai ilmu kehutanan yang bertujuan untuk pemenuhan produksi dan manfaat rekreasi bagi masyarakat. Definisi ini masih terlalu umum dan kurang akurat untuk menjelaskan konsep social forestry tersebut. Definisi FAO juga dirasa terlalu umum, yang menyatakan bahwa social forestry adalah suatu keadaan dimana masyarakat lokal dilibatkan secara intensif dalam kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan (forest) adalah pertumbuhan yang lebat dari pohon bersama-sama dengan tanaman lain, yang menutupi suatu areal tanah. Sementara, ilmu berkenaan dengan studi,  pemeliharaan, dan manajemen hutan disebut dengan forestry.  Hutan adalah sebuah ekosistem yang terdiri atas komponen tanaman dan hewan yang berinteraksi satu sama lain dengan lingkungan fisik. Manajemen hutan mencakup untuk kayu, air, kehidupan satwa liar, dan rekreasi. Karena kayu menjadi objek ekonomi yang paling penting, maka forestry sangat memperhatikan timber management, konservasi dan rehabilitasi, pemeliharaan, dan pengawasan kebakaran. Khusus untuk konteks hubungan hutan dengan manusia dikembangkan dalam konsep “silviculture”. Di dalamnya tercakup bagaimana membudidayakan dan memelihara tanaman pohon.
Konsep “social forestry” yang lebih akurat dinyatakan oleh Tiwari (1983)[2]. Ia menyatakan bahwa perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, di dalam maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat. Pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, sehingga terjadi keseimbangan dan saling mengisi penggunaan lahan dengan maksud untuk menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun masyarakat.
Lalu, definisi yang dinyatakan oleh Noronha dan Spears pada tahun 1988, menekankan sesuatu yang baru dalam konsep yang mereka tawarkan, yaitu pentingnya arti kata “sosial” dalam perhutanan sosial. Konsep ini menekankan perbedaan perhutanan sosial dengan pengelolaan hutan yang komersil. Makna kata “sosial” disini adalah bahwa program tersebut melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan aktif pemanfaat dalam upaya penghutanan kembali dan bersama-sama memanfaatkan hasil-hasil hutan.
Jadi, keberhasilan sebuah program social forestry tergantung pada respon masyarakat yang hidup di sekitar kawasan program. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa (dan komersial) dalam tiga hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (non-monetized); (2) Keberhasilan perhutanan sosial tergantung partipasi langsung pemanfaat; dan (3) Dibutuhkan sikap dan ketrampilan yang khas dari ahli kehutanan, dimana mereka  harus beperan sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam dan memelihara pohon.
Social forestry menempati posisi yang cukup istimewa dalam kebijakan pemerintah Indonesia. Ini terlihat dari Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004. tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau sekitar hutan dalam rangka Social Forestry. Sesungguhnya masih ada beberapa perdebatan dan ketidaksepahaman sampai sekarang dalam beberapa hal dari konsep social forestry[3]. Namun, disepakati bahwa social forestry dijadikan sebagai jiwa dan payung dari program pemerintah Indonesia[4].
Di Indonesia, tampaknya konsep social forestry mulai diintorduksikan pada awal 1990-an. Dari seminar “Social Forestry and Sustainable Development” di Yogyakarta tahun 1994, dirumuskan bahwa perhutanan sosial: memberikan perhatian khusus kepada pemerataan distribusi produksi hasil hutan terutama untuk penduduk lokal; merupakan strategi pembangunan untuk menstimulasi keterlibatan aktif penduduk lokal; difokuskan pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping mengelola lingkungan wilayah; serta ditujukan kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif masyarakat.
Paradigma perhutanan sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehutanan, yaitu memposisikan rakyat/ masyarakat yang utama dalam pengelolaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan pemerataan sosial dan pentingnya peranan sistem asli masyarakat serta mempertahankan biodiversitas[5]. Terlihat bahwa keikutsertaan masyarakat di sekitar wilayah hutan, merupakan suatu hal yang mutlak. Dengan kata lain, masyarakat pedesaaan adalah aktor utama dalam perhutanan sosial.
Konsep social forestry bertolak dari adanya hubungan saling ketergantungan antara manusia dan hutan dalam suatu interaksi dalam sistem kehidupan. Dalam kondisi tekanan terhadap hutan terus terjadi, maka hutan akan semakin berkurang dan bencana ekologi akan berantai ke sektor-sektor lain, pada kehidupan masyarakat luas.
Sektor kehutanan mempunyai kemampuan berpartisipasi nyata dalam pemerataan yang berekadilan terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dengan mengajak masyarakat (di dalam dan sekitar hutan) mengelola kawasan hutan.
Social forestry menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan maksud ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Tujuan kegiatan ini  adalah untuk membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus  mempercepat rehabilitasi hutan dengan menyatukan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah di dalamnya [6]. Meningkatkan ekonomi masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan,  diibaratkan sebagai dua sisi mata uang.
Pengelolaan hutan dengan melibatkan peran serta masyarakat, sesungguhnya telah ada pada beberapa konsep lain. Di antaranya adalah  program hutan kemasyarakatan (HKM) dan hutan masyarakat (KM) atau community foresty (CF). Perhutanan sosial dapat dilakukan di lahan milik pribadi masyarakat ("Usaha Hutan Rakyat") maupun di kawasan hutan negara ("Hutan Kemasyarakatan") [7]. Meskipun masih terdapat ketidaksepahaman konsep, namun disepakati bahwa program social forestry disesuaikan dengan kondisi ekologis, sosial, budaya dan ekonomi setempat.
Prinsip-prinsip dalam implementasi social forestry adalah[8]: perlu pengembangan kelembagaan; pengakuan terhadap hak kelola masyarakat;  perlu kerja sama dan dukungan dari semua pihak;  ada pengakuan akan hak-hak masyarakat lokal, masyarakat adat dan institusinya; keterpaduan pengelolaan ekosistem hutan dan pengelolaan sumber daya hutan; kebijakan yang mendukung dan berpihak pada masyarakat kecil; adanya pembagian manfaat (benefit) dan keuntungan (profit) yang jelas dan adil; pengakuan bahwa perhutanan sosial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan untuk mengatur masyarakat; keadilan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya; terjaminnya kesempatan pembagian hasil untuk memanfaatkan sumber daya kayu dan bukan kayu secara adil dan lestari;  ada pengakuan akan akses masyarakat lokal atas sumber daya hutan yang perlu difasilitasi dengan kebijakan yang memadai sehingga tidak merugikan salah satu pihak; ada proses devolusi untuk penguatan kelembagaan dan masyarakatnya; serta desentralisasi kepada pemerintah daerah sampai dengan tingkat desa dan lembaga adat .
Aktifitas social forestry meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif meliputi penanaman, pemeliharaan dan pemanfaatan. Untuk itu perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Satuan komunitas terkecil yang realistis bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah Pemerintah Desa. Strategi pokok social forestry meliputi pengelolaan kawasan dan sumber daya hutan, pengembangan kemitraan, dan pengembangan usaha. Dalam pelaksanaannya, social forestry dapat diintegrasikan dengan program lainnya seperti ketahanan pangan, ketenagakerjaan, peningkatan kemampuan usaha berbasis masyarakat dan sebagainya.
Paradigma yang menjadi dasar program social forestry [9] adalah bahwa:  fokus kegiatan pengelolaan hutan pada upaya perlindungan, konservasi dan ekonomi baik di lahan milik maupun hutan negara secara lestari; aktor utama pengelola hutan adalah masyarakat; pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan pengawas; pelaksanaan di lapangan sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing sehingga tidak ada "cetak Biru" atau uniformitas.
Social forestry tampaknya tetap bertolak dari konsep “agroforestry” yaitu teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan[10]. Sesungguhnya pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan sejak dulu, untuk mencapai efisiensi penggunaan lahan. Dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi.
Agroforestry pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Pada sebidang tanah, dapat ditanami sekaligus sengon (Paraserianthes falcataria), tanaman kopi (Coffea spp) di bawahnya yang memang memerlukan naungan, dan di lapisan terbawah ditanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran terhadap naungan. Jadi, dengan agroforestry, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi. Manfaat ganda dari pola agroforestry adalah peningkatan produktivitas dan sekaligus pemeliharaan lingkungan.
Kerjasama dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan telah dimulai semenjak lama. Pada tahun 70-an, diimplementasikan kerjasama antara petani dengan pihak kehutanan, dimana petani sebagai “pesanggem”  berhak atas bermacam-macam insentif berupa uang, beras atau ternak. Sebagai pesanggem, petani menggarap tanah di hutan dengan memelihara tanaman kehutanan dan memiliki hak atas tanaman pertanian yang ditanam olehnya. Kerjasama ini bertolak atas kondisi ketimpangan yaitu “rich forest, poor people” [11].
*****



[1]  Kartasubrata (2003)  Dalam: Kresno Agus Hendarto. Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah yang Harus Diperhatikan: Sebuah Tinjauan Teoritis. (www.dephut.go.id. 29 Maret 2005).
[2] Dalam: Kresno Agus Hendarto. Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah yang Harus Diperhatikan: Sebuah Tinjauan Teoritis. (www.dephut.go.id. 29 Maret 2005).
[3] Untuk mencari jalan keluarnya, pada akhir tahun 2002 diselenggarakan lokakarya nasional tentang perhutanan sosial di Cimacan, Puncak, dengan tujuan menyamakan persepsi dan menyusun kebijakan perhutanan sosial. Sayang sejauh ini tetap belum ada kesepakatan tentang hal itu.
[4] Bahkan pada tanggal 2 Juli 2003 Presiden Megawati juga mencanangkan perhutanan sosial sebagai model pengelolaan hutan masa depan, saat mencanangkan Program Social Forestry Nasional di Kelurahan Petuk Bukit, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
[5] Sanafri Awang. 2003. Fahutan UGM dalam makalah masukan untuk Departemen Kehutanan pada diskusi Social Forestry, 24 Februari 2003.
[6] Rusli, Yetty. 2003. Social Forestry:  Pokok-Pokok Pikiran. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi Juni 2003. Didownload dari http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SocFor/Pokok.htm (22 Maret 2005).
[7] Dalam Buku Panduan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan, yang diterbitkan oleh Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial pada akhir tahun 2002.
[8] Tony Djogo. Perhutanan sosial dalam perdebatan. - 4 May 2004 (www.beritabumi.or.id. 29 Maret 2005).
[9] Sanafri Awang. 2003. Fahutan UGM dalam makalah masukan untuk Departemen Kehutanan pada diskusi Social Forestry, 24 Februari 2003.
[10] Budiadi.  “Agroforestry, mungkinkah mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan?. Majalah Inovasi Online, Vol.3/XVII/Maret 2005, Humaniora (http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=70. 11 April 2005).
[11] Peluso, N.L. 1992. Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java. University of California Press, Ltd., California